Tuesday 11 December 2012

Surat Apostolik dari Paus Benediktus XVI: Pintu kepada Iman

Catatan: Berikut ini adalah terjemahan tidak resmi (unofficial translation) dokumen Surat Apostolik dari Paus Benediktus XVI, yang berjudul “Pintu kepada Iman”, yang diterjemahkan oleh katolisitas.org dari dokumen aslinya dalam Bahasa Inggris, seperti yang tertulis di sini – silakan klik. Mohon agar pengutipan terjemahan ini dapat menyertakan sumbernya, yaitu: www.katolisitas.org, sehingga usulan atau masukan dapat disampaikan kepada kami. SURAT APOSTOLIK “MOTU PROPRIO DATA” PINTU KEPADA IMAN DARI USKUP AGUNG ROMA BENEDIKTUS XVI UNTUK PENCANANGAN TAHUN IMAN PINTU IMAN MENUJU KEHIDUPAN BERSATU DENGAN TUHAN 1. “Pintu kepada iman” (Kis 14:27) selalu terbuka bagi kita, menghantarkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Adalah mungkin untuk melintasi ambang pintu itu ketika Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya dibentuk oleh rahmat yang senantiasa mengubah. Untuk masuk melalui pintu itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Perjalanan itu dimulai dengan baptisan (lih. Rom 6:4), yang melaluinya kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa, dan perjalanan berakhir dengan jalan melalui kematian menuju kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang sejak dahulu berkehendak, dengan anugerah Roh Kudus, untuk menarik mereka yang percaya kepada-Nya masuk ke dalam kemuliaan-Nya sendiri (lih. Yoh 17:22). Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putera dan Roh Kudus– adalah percaya kepada Allah yang Mahaesa yang adalah Kasih (lih. 1Yoh 4:8): Bapa, yang di dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya demi keselamatan kita;Yesus Kristus, yang di dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus dunia; Roh Kudus, yang memimpin Gereja sepanjang segala abad sambil kita menantikan kedatangan Tuhan kembali dalam kemuliaan. GEREJA BERTUGAS MENGANTAR UMAT KATOLIK MEMASUKI PINTU IMAN 2. Sejak permulaan pelayanan saya sebagai Penerus Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan iman, sehingga memberikan pencerahan yang lebih jelas akan sukacita dan semangat yang diperbarui oleh perjumpaan dengan Kristus. Dalam homili pada Misa yang menandai peresmian pontifikat/ kepausan saya, saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, dan semua pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk memimpin umat keluar dari padang gurun, menuju ke tempat kehidupan, menuju persahabatan dengan Putera Allah, menuju Dia, yang memberi kita kehidupan, dan kehidupan yang berkelimpahan.”[1] Sering terjadi, bahwa umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada konsekuensi-konsekuensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, dengan tetap berpandangan tentang iman sebagai sebuah anggapan yang dengan sendirinya membuktikan dirinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam kenyataannya, anggapan ini bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi hal tersebut sering secara terang-terangan diingkari.[2] Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal suatu matriks unit kemasyarakatan, yang secara luas diterima sebagai daya tarik terhadap isi iman dan nilai-nilai yang diinspirasikan olehnya, di masa sekarang ini hal ini nampaknya tidak lagi menjadi kasus di dalam lingkupan luas masyarakat, karena adanya krisis iman yang mendalam yang telah mempengaruhi banyak orang. MENGHIDUPKAN KEMBALI IMAN KITA 3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat 5:13-16). Orang-orang zaman sekarangpun masih tetap dapat merasakan kebutuhan untuk pergi ke sumur, seperti wanita Samaria, untuk mendengarkan Yesus, yang mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh 4:14). Kita harus menemukan kembali sedapnya rasa kita menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah disampaikan oleh Gereja, dan menyantap roti hidup yang telah diserahkan bagi kehidupan para murid-Nya (lih. Yoh 6:51). Sungguh, pada zaman inipun ajaran Yesus masih tetap bergema dengan kuasa yang sama: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh 6:27). Pertanyaan yang dulu ditanyakan oleh para pendengar-Nya adalah sama dengan pertanyaan yang kita ajukan sekarang: “Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?” (Yoh 6:28). Kita mengetahui jawaban Yesus: ”Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh 6:29). Oleh karena itu, percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai dengan pasti kepada keselamatan. TAHUN IMAN UNTUK MENEMUKAN KEMBALI IMAN KITA 4. Di dalam terang semua hal ini, saya telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, juga adalah hari ulang tahun yang ke- duapuluh dari penerbitan buku Katekismus Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II,[3] dengan maksud untuk memberikan kepada semua umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman kita. Dokumen tersebut, sebagai buah yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Sinode Luar-biasa Para Uskup pada tahun 1985 sebagai sebuah sarana bantu bagi pelayanan Katekese[4] dan telah diterbitkan dalam kerjasama dengan semua Uskup Gereja Katolik. Tambahan pula, tema Sidang Umum Sinode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 adalah: “Evangelisasi Baru untuk Penerusan Iman Kristiani”. Hal ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk menghantar segenap Gereja masuk ke dalam saat refleksi yang khusus dan penemuan kembali imannya. Ini bukan yang pertama kalinya Gereja menetapkan untuk merayakan Tahun Iman. Pendahulu saya yang terhormat Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1967, untuk memperingati kemartiran Santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan sembilan belas abad tentang tindakan terluhur kesaksian mereka. Beliau berpendapat hal itu sebagai saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk untuk membuat “suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari iman yang sama”. Selanjutnya, beliau menghendaki bahwa hal ini diteguhkan dengan cara yang “individual maupun kolektif secara bebas dan bertanggung jawab, baik secara lahir maupun batin, dengan rendah hati dan terus-terang”.[5] Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat akan iman itu, sehingga dengan demikian menguatkannya, memurnikannya, meneguhkannya dan mengakuinya.”[6] Pergolakan besar tahun itu semakin menunjukkan kebutuhan akan perayaan semacam ini. Perayaan itu ditutup dengan Pengakuan Iman Umat Allah[7] dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa isi hakiki iman yang selama berabad-abad telah membentuk warisan segenap umat beriman, perlu diteguhkan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar menjadi kesaksian iman yang konsisten di dalam keadaan-keadaan historis yang ada saat ini yang sangat berbeda dengan keadaan sejarah masa lampau. 5. Dalam arti tertentu, pendahulu saya yang terhormat itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekuensi dan kebutuhan dari masa pasca konsili”,[8] menyadari sepenuhnya akan kesulitan-kesulitan besar pada zaman itu, teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsiran yang benar akan hal itu. Nampak bagi saya bahwa saat peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II akan memberikan kesempatan yang baik untuk membantu umat memahami, bahwa naskah- naskah yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili itu, di dalam kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, diketahui secara luas dan diresapkan di dalam hati sebagai naskah-naskah yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja, di dalam Tradisi Gereja … Saya merasa lebih dari sebelumnya berkewajiban untuk menunjuk kepada Konsili itu sebagai rahmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja di abad keduapuluh: di sana kita menemukan penunjuk arah yang pasti bagi tindakan-tindakan yang kita ambil dalam abad itu yang sekarang baru dimulai.”[9] Saya juga ingin menekankan dengan sangat, apa yang sudah saya katakan tentang Konsili tersebut beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Penerus Petrus: ”Jika kita menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili itu dengan dibimbing oleh suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu adalah dan dapat menjadi semakin kuat berdaya guna bagi pembaruan Gereja yang senantiasa diperlukan.”[10] PEMBAHARUAN MELALUI PERTOBATAN BAGI SELURUH GEREJA 6. Pembaruan Gereja juga dicapai melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat beriman: justru dengan keberadaan mereka di dunia ini, umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang telah diwariskan Tuhan Yesus kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sementara Kristus, yang “suci, tanpa salah, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor 5:21), namun datang hanya untuk menebus dosa-dosa seluruh bangsa (lih. Ibr 2:17), …Gereja… merangkul para pendosa dalam pangkuannya, sekaligus [Gereja itu] suci, dan selalu perlu dimurnikan, secara terus-menerus mengikuti jalan pertobatan dan pembaharuan. Gereja, ‘seperti seorang pengembara di negeri asing, berjalan maju melawan arus di tengah- tengah penganiayaan dunia dan penghiburan dari Allah’, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhan sampai Ia datang (lih. 1Kor 11:26). Tetapi, oleh kuasa Tuhan yang telah bangkit, Gereja diberikan kekuatan untuk mengatasi dukacita dan kesulitannya, di dalam kesabaran dan di dalam cinta kasih, baik [dukacita dan kesulitan yang timbul] dari dalam maupun dari luar, sehingga Gereja dapat dengan setia menyatakan di dunia, meskipun dengan samar-samar, misteri Tuhannya sampai akhirnya, misteri tersebut dinyatakan di dalam terang yang sempurna.”[11] Dalam perspektif ini, Tahun Iman adalah suatu panggilan kepada sebuah pertobatan yang sejati dan baru kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia. Di dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya Kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa-dosa (lih. Kis 5:31). Bagi Santo Paulus, Kasih ini menghantar kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan… bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom 6:4). Oleh iman, hidup yang baru ini memberi wujud bagi seluruh keberadaan manusia sesuai dengan kenyataan baru yang radikal dari kebangkitan Tuhan. Sejauh ia dengan bebas bekerjasama, pikiran-pikiran manusia dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit dimurnikan dan diubah, dalam suatu perjalanan yang tidak pernah akan sepenuhnya selesai di dalam kehidupan ini. “Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6) menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (lih. Rom 12:2; Kol 3:9-10; Ef 4:20-29; 2Kor 5:17). PEMBAHARUAN IMAN MELALUI EVANGELISASI SEBAGAI PENGALAMAN KASIH 7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor 5:14): Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita untuk melakukan evangelisasi. Sekarang ini, seperti di waktu yang dulu, Kristus mengutus kita melalui lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil-Nya kepada seluruh bangsa di bumi (lih. Mat 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya bangsa-bangsa dari segala keturunan: di dalam setiap zaman Dia menghimpun Gereja, mempercayakan kepadanya pewartaan Injil oleh sebuah mandat yang senantiasa baru. Pada zaman sekarangpun, terdapat sebuah kebutuhan akan komitmen gerejawi yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali suka cita dalam percaya dan kegairahan untuk mengkomunikasikan iman. Dalam menemukan kembali kasih-Nya dari hari ke hari, komitmen perutusan dari umat beriman mencapai kekuatan dan kegairahan yang tak pernah dapat pudar. Iman bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang telah diterima, dan ketika iman dikomunikasikan sebagai suatu pengalaman rahmat dan suka cita. Iman itu membuat kita berbuah, sebab ia memperluas hati kita di dalam pengharapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi mereka yang mendengarkan dan menanggapi undangan Tuhan untuk melekat kepada sabda-Nya dan menjadi murid-murid-Nya. Orang-orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakan pada kita, “menguatkan diri mereka sendiri dengan percaya.”[12] Uskup Hippo yang kudus itu memiliki alasan yang tepat untuk mengungkapkan dirinya dengan cara ini. Sebagaimana kita ketahui, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman sampai suatu saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam Allah.[13] Karya tulisnya yang luas dan lengkap, yang di dalamnya Agustinus memberi penjelasan tentang pentingnya percaya dan kebenaran iman, sampai sekarang tetap terus membentuk warisan kekayaan yang tiada taranya, dan tetap membantu banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”. Karena itu, hanya melalui percaya, iman bertumbuh dan menjadi lebih kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk memiliki kepastian tentang kehidupan, kecuali dengan penyerahan diri sendiri, dengan suatu kesetiaan yang terus menguat [crescendo], ke dalam rangkulan sebuah cinta yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena cinta itu berasal dari Allah. RENUNGAN AKAN IMAN WAJIB DIINTENSIFKAN 8. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup seluruh dunia untuk bergabung bersama dengan Penerus Petrus selama masa yang penuh dengan rahmat rohani yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, dengan mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak merayakan Tahun itu dengan cara yang pantas dan berbuah. Renungan tentang iman harus dikuatkan, agar membantu semua umat yang beriman kepada Kristus untuk memperoleh keterpautan yang lebih disadari dan lebih bersemangat, kepada Injil, khususnya pada saat terjadi perubahan yang mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di gereja-gereja di seluruh dunia; di rumah-rumah kita dan di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang dapat merasakan kebutuhan yang kuat untuk mengetahui dengan lebih baik dan untuk meneruskan kepada generasi yang akan datang iman segala zaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara sepanjang Tahun ini, untuk membuat pengakuan syahadat (Credo) secara publik. UMAT DIHARAPKAN MEWUJUDKAN PENGAKUAN IMAN SECARA LEBIH SADAR 9. Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun tersebut juga akan menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan; … dan juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu mengalir”.[14] Pada saat yang sama, kita berdoa agar kesaksian hidup umat beriman dapat bertumbuh semakin meyakinkan. Menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan,[15] dan merenungkan kembali tentang tindakan iman, adalah tugas yang harus dijadikan sebagai tugasnya sendiri oleh setiap umat beriman, khususnya selama Tahun Iman ini. Bukan tanpa alasan, umat Kristiani pada abad-abad awal dituntut untuk menghafalkan pengakuan iman tersebut. Bagi mereka hal itu menjadi doa setiap hari, agar tidak lupa pada komitmen yang telah mereka ikrarkan di dalam Pembaptisan mereka. Dengan kata-kata yang sarat makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini di dalam homili tentang redditio symboli, tentang penyerah-alihan (penerusan) pengakuan iman: “Simbol misteri kudus yang telah kalian terima bersama dan yang pada hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu, adalah perkataan yang atasnya iman Bunda Gereja didirikan dengan kokoh di atas landasan yang stabil, yang adalah Kristus Tuhan. Kalian telah menerimanya, dan mengucapkannya, namun kalian harus tetap memeliharanya di dalam budi dan hati sanubari kalian, kalian harus tetap mengulanginya di tempat tidur kalian, mengingat-ingatnya di tempat-tempat publik, dan tidak melupakannya sementara kalian makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus tetap menjaganya dengan hati kalian.”[16] TINDAKAN IMAN 10. Di sini saya ingin membuat sketsa sebuah jalan yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi iman itu, melainkan juga tindakan yang dengannya kita memilih untuk mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah, dengan penuh kebebasan. Pada kenyataannya, terdapat kesatuan yang mendalam antara tindakan yang dengannya kita beriman dan isi iman yang kepadanya kita memberikan persetujuan kita. Santo Paulus membantu kita masuk ke dalam kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Hati menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seseorang menjadi percaya adalah anugerah Allah dan perbuatan rahmat yang bertindak dan mengubah seseorang dari dalam. SEBAGAI LANJUTAN DARI HATI YANG DIGERAKKAN OLEH RAHMAT ILAHI Teladan Lydia secara khusus menjadi sangat tepat dalam hal ini. Santo Lukas menceriterakan bahwa, ketika ia berada di Filipi, pada suatu hari Sabat, Paulus memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis 16:14). Di dalam ungkapan ini terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan bahwa pemahaman isi dari yang harus diimani tidaklah memadai jika hati, yaitu tempat kudus yang sejati di dalam diri seseorang, tidak turut dibuka oleh rahmat yang membuat mata dapat melihat apa yang ada di bawah permukaan dan mamahami, bahwa apa yang telah diwartakan adalah Sabda Allah. DILANJUTKAN DENGAN PENGAKUAN IMAN DAN KOMITMEN Pengakuan dengan mulut pada gilirannya menunjukkan, bahwa iman melibatkan pengakuan secara publik dan komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman adalah tindakan pribadi saja. Beriman adalah memilih untuk memihak kepada Allah agar dengan demikian hidup dengan Dia. “Memihak kepada Dia” ini menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan mengapa menjadi percaya. Justru karena iman adalah suatu tindakan yang bebas, iman juga menuntut tanggungjawab sosial atas apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta, Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keimanan dan pewartaan iman ini tanpa takut, kepada setiap orang. Karunia Roh Kuduslah yang membuat kita siap untuk diutus dan yang menguatkan kesaksian kita, serta menjadikannya terus-terang dan berani. ADALAH SUATU TINDAKAN PRIBADI, DAN JUGA BERSIFAT KOMUNITAS Pengakuan iman adalah suatu tindakan yang selain bersifat pribadi, tetapi juga bersifat komunitas. Gerejalah yang menjadi subjek utama dari man. Di dalam iman dari komunitas Kristiani, setiap individu menerima baptisan, suatu tanda efektif tentang pintu masuk ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Sebagaimana kita membaca di dalam buku Katekismus Gereja Katolik: “Aku percaya”, adalah iman Gereja, yang diakui secara pribadi oleh setiap orang percaya, terutama pada waktu Pembaptisan. “Kami percaya” adalah iman Gereja, yang diakui oleh para Uskup yang berkumpul di dalam konsili atau secara lebih umum oleh pertemuan liturgis umat beriman. “Aku percaya”: adalah juga Gereja, ibu kita, dalam menanggapi Allah dengan iman sebagaimana ia mengajarkan kita berkata: baik “aku percaya”, maupun “kami percaya”.[17] Jelaslah, bahwa pengetahuan akan isi iman adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan persetujuannya, yaitu untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang disampaikan oleh Gereja. Pengetahuan akan iman membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri keselamatan yang diwahyukan Allah. Persetujuan yang kita berikan itu berarti bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh misteri iman, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah, yang mewahyukan diri-Nya sendiri dan mengizinkan kita mengetahui misteri cinta-kasih-Nya.[18] Di sisi lain, kita tidak boleh lupa, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang meskipun tidak meng-klaim memiliki anugerah iman itu, namun secara tulus mencari makna yang tertinggi dan kebenaran yang pasti tentang hidup mereka dan dunia. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” yang otentik kepada iman, karena ia menuntun orang pada jalan yang membawanya kepada misteri Allah. Sebenarnya, akal-budi manusia mengandung di dalam dirinya sendiri tuntutan bagi “apa yang selamanya sah dan langgeng”.[19] Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang tetap, yang terpatri secara tak-terhapuskan di dalam hati manusia, untuk mulai bergerak mencari Dia, yang tidak akan kita cari seandainya Dia tidak lebih dahulu bergerak untuk menemukan kita.[20]. Pada perjumpaan inilah, iman mengundang kita dan iman membuka kita sepenuhnya. KATEKISMUS ADALAH SARANA UNTUK MENGENAL ISI IMAN SECARA SISTEMATIK 11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik akan isi iman itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan tak tergantikan. Katekismus adalah salah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, yang ditandatangani, bukan karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke tiga-puluh pembukaan Konsili Vatikan Kedua, Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Saya menyatakan Katekismus menjadi suatu alat bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”.[21] MENGAJARKAN KITA KEBENARAN YANG HAKIKI AKAN IMAN KITA Dalam arti inilah bahwa Tahun Iman harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi fundamental dari iman yang dirangkum secara sistematis dan organik di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah, sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakannya sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci, sampai ke para Bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para orang kudus sepanjang segala abad, Katekismus tersebut memberikan rekaman yang tetap tentang banyak cara yang di dalamnya Gereja telah merenungkan iman itu dan telah membuat kemajuan di dalam ajaran, sehingga memberikan kepastian kepada umat beriman di dalam kehidupan iman mereka. DENGAN DIIRINGI OLEH BANTUAN LITURGI DAN SAKRAMEN-SAKRAMEN Dalam strukturnya yang seperti itu, Katekismus Gereja Katolik mengikuti perkembangan iman langsung tentang tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halamannya, kita temukan bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental yang di dalamnya Kristus hadir, bertindak dan terus membangun Gereja-Nya. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman akan kehilangan daya gunanya, sebab ia akan kehilangan rahmat yang mendukung kesaksian Kristiani. Melalui persyaratan yang sama, ajaran Katekismus tentang kehidupan moral memperoleh arti yang penuh, apabila ditempatkan di dalam keterikatannya dengan iman, liturgi dan doa. DIPERLUKAN BANTUAN DARI KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN DAN DIKASTERI-DIKASTERI TAHTA SUCI 12. Maka, di dalam Tahun Iman ini, Katekismus Gereja Katolik akan dipergunakan sebagai alat bantu untuk memberikan dukungan nyata bagi iman, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembentukan/pembinaan umat Kristiani, yang sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk tujuan ini, saya telah mengundang Kongregasi untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk menyusun sebuah Nota, yang akan memberikan kepada Gereja dan kepada umat beriman secara individu, beberapa patokan tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman ini dengan cara yang se-efektif dan se-tepat mungkin, bagi kepentingan iman dan pewartaan (evangelisasi). Dalam skala yang lebih besar dari pada di masa yang lampau, sekarang ini iman dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap mental yang telah berubah, yang, khususnya dewasa ini, membatasi bidang kepastian-kepastian rasional kepada bidang penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu pengetahuan yang sejati, sebab keduanya, kendatipun melalui jalur yang berbeda, mengarah kepada kebenaran.[22] KESAKSIAN IMAN DARI PARA KUDUS 13. Satu hal yang akan menentukan dalam Tahun Iman ini adalah, penelusuran sejarah iman kita, yang ditandai sebagaimana adanya dengan misteri yang tak terpahami tentang keterjalinan antara kekudusan dan dosa. Sementara hal yang pertama menyoroti kontribusi besar yang telah dilakukankan oleh para laki-laki atau perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan komunitas melalui kesaksian hidup mereka, hal yang kedua harus membangkitkan di dalam setiap orang suatu karya yang tulus dan berkesinambungan tentang pertobatan untuk mengalami belas kasihan Bapa, yang ditawarkan kepada semua orang. YESUS SEBAGAI MODEL KEHIDUPAN IMAN Selama waktu ini kita perlu untuk tetap menjaga pandangan kita kepada Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya. Sukacita kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya ini menemukan kepenuhannya di dalam misteri Inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil bagian di dalam kelemahan manusiawi kita, agar dapat mengubahnya dengan kuasa kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah wafat dan bangkit kembali demi keselamatan kita, contoh teladan iman yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini dibawa ke dalam kepenuhan terang. TELADAN DARI BUNDA MARIA Dengan iman, Maria menerima kata-kata Malaikat dan percaya kepada pesan bahwa ia akan menjadi Bunda Allah di dalam ketaatan kesalehannya (lih. Luk 1:38). Ketika mengunjungi Elisabet, ia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya-karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya (lih. Luk 1:46-55). Dengan sukacita dan kegentaran ia melahirkan anaknya yang tunggal, dengan tetap mempertahankan keperawanannya (lih. Luk 2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari penganiayaan Herodes (lih. Mat 2:15-17). Dengan iman yang sama, ia mengikuti Tuhan di dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai akhir ke Golgota (lih. Yoh 19:25-27). Dengan iman, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (lih. Luk 2:19,51). Ia menyerahkan semua itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di Ruang Atas untuk menerima Roh Kudus (lih. Kis 1:14-2:1-4). KEHIDUPAN IMAN PARA RASUL Dengan iman, para Rasul telah meninggalkan segalanya dan mengikuti Tuhan mereka (lih. Mat 10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang dengannya Ia mewartakan Kerajaan Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (lih. Luk 11:20). Mereka hidup di dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, yang mewariskan kepada mereka suatu peraturan baru tentang hidup, dengan mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (lih. Yoh 13:34-35). Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Injil kepada semua ciptaan (lih. Mrk 16:15) dan mereka tanpa takut mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan, yang tentangnya mereka adalah saksi-saksi yang setia. CONTOH HIDUP PARA MURID YESUS Dengan iman, para murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran para Rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai milik bersama agar dengan demikian mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara mereka (lih. Kis. 2:42-47). MARTIR MENYERAHKAN HIDUP DEMI IMAN Dengan iman, para martir menyerahkan hidup mereka, dengan memberikan kesaksian kepada kebenaran Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mencapai pemberian terbesar dari cinta-kasih: pengampunan bagi para penganiaya mereka. KESAKSIAN DARI PARA RELIGIUS Dengan iman, para pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, dengan meninggalkan segala sesuatu, agar dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata penantian akan Tuhan yang datang tanpa tertunda. Dengan iman, tak terbilang banyaknya umat Kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari penindasan dan mewartakan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (lih. Luk 4:18-19). KESAKSIAN DARI BANYAK UMAT KRISTIANI DARI SEGALA ABAD Dengan iman, sepanjang segala abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab Kehidupan (lih.Why 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian terhadap kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang Kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kehidupan publik, di dalam melaksanakan kharisma-kharisma dan pelayanan- pelayanan yang kepadanya mereka dipanggil. Dengan iman, kita juga hidup: dengan menghayati pengakuan yang hidup akan Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup kita dan di dalam sejarah kita. MELAKSANAKAN KESAKSIAN HIDUP DALAM CINTA KASIH 14. Tahun Iman juga akan menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk menguatkan kesaksian amal kasih. Sebagaimana Santo Paulus mengingatkan kita: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Kor 13:13). Bahkan dengan kata-kata yang lebih kuat, ‒yang telah senantiasa menempatkan umat Kristiani di bawah kewajiban,‒ Santo Yakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak 2:14-18). HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN CINTA KASIH Iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah, sedangkan kasih tanpa iman hanya akan menjadi suatu perasaan yang terus menerus berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling mensyaratkan satu sama lain, sedemikian rupa di mana yang satu akan membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang Kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang sendirian, yang terpinggirkan atau terkucilkan, sebagaimana juga bagi mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah Kristus sendiri. Melalui iman, kita dapat mengenali wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Kata-kata ini adalah peringatan yang harus tidak boleh dilupakan dan undangan yang tetap bagi kita untuk membalas kasih yang dengannya Tuhan memelihara kita. Imanlah yang memampukan kita mengenali Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama kita di sepanjang perjalanan hidup kita. Didukung oleh iman, marilah kita memandang dengan penuh harap kepada komitmen kita di dunia, sambil kita menantikan “langit yang baru dan dunia yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr 3:13; lih. Why 21:1). UNDANGAN SANTO PAULUS UNTUK TUMBUH DALAM IMAN 15. Ketika sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih. 2Tim 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (lih. 2Tim 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada kita masing-masing, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Adalah [sebagai] pendamping sepanjang hidup inilah yang membuat iman mampu untuk memahami, secara baru, keajaiban-keajaiban yang Tuhan lakukan bagi kita. Sambil bermaksud mengumpulkan tanda-tanda zaman di dalam sejarah kita sekarang ini, iman membuat setiap kita menjadi tanda yang hidup akan kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia ini. Apa yang secara khusus dibutuhkan oleh dunia sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang memperoleh pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan dan yang mampu membuka hati dan budi banyak orang untuk merindukan Allah dan kehidupan yang sejati, kehidupan tanpa akhir. HARAPAN PAUS BENEDIKTUS XVI BAGI TAHUN IMAN “Supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes 3:1): semoga Tahun Iman ini membuat hubungan kita dengan Kristus Tuhan, semakin bertambah teguh, karena hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang ke masa depan dan jaminan kasih yang sejati dan tetap. Semoga kata-kata Santo Petrus ini dapat memberikan seberkas sinar yang terakhir atas iman: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu — yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api — sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr 1:6-9). Hidup umat Kristiani mengenal baik pengalaman sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang telah hidup di dalam kesendirian! Betapa banyak umat beriman, bahkan sampai hari ini, dicobai oleh keheningan Allah, ketika mereka lebih merindukan untuk mendengar suara-Nya yang menghibur! Percobaan-percobaan hidup, sementara membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil bagian di dalam penderitaan Kristus (lih. Kol 1:24), adalah juga suatu pendahuluan kepada sukacita dan harapan ke mana iman mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercayaan yang pasti ini kita mempercayakan diri kita kepada-Nya: Ia, yang hadir di tengah-tengah kita, mengalahkan kuasa si jahat (lih. Luk 11:20) dan Gereja, persekutuan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda bagi rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa. Marilah kita mempercayakan saat rahmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai, “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk 1:45). Dikeluarkan di Roma, di Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh. PAUS BENEDIKTUS XVI Catatan: Terjemahan dilakukan oleh katolisitas.org : http://katolisitas.org/8142/surat-apostolik-dari-paus-benediktus-xvi-pintu-kepada-iman. Judul tambahan untuk mempermudah mempelajari isi dokumen adalah tanggung jawab Romo F.X. Zen Taufik (fr.franciszen@gmail.com). Terima kasih kepada Rm. Zen yang telah memberikan masukan untuk revisi terjemahan di beberapa bagian dalam dokumen ini. Hanya dipergunakan untuk kalangan terbatas. CATATAN KAKI: Homili pada awal menjabat sebagai Uskup Roma dalam pelayanan sebagai penerus Petrus (24 April 2005):AAS 97 (2005), 710. [↩] Lih. Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro do Paço” di Lisabon, (11 Mei 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673. [↩] Lih. Paus Yohannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 113-118. [↩] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4 in Enchiridion Vaticanum, ix, n. 1797. [↩] Paus Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St. Petrus dan Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196. [↩] Ibid., 198. [↩] Paulus VI, Credo Umat Allah, Homili dalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran St. Petrus dan Paulus pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS 60 (1968), 433-445. [↩] PaulusVI, Audiensi Umum (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967), 801. [↩] Paus BeatoYoannes Paulus II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 57: AAS 93 (2001), 308 [↩] Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember 2005): AAS 98 (2006), 52. [↩] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 8. [↩] De Utilitate Credendi, I:2. [↩] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10. [↩] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 10. [↩] Lih. Paus Yohannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 116. [↩] Sermo 215:1. [↩] Katekismus Gereja Katolik, 167 [↩] Lih. Konsili Ekumenis Vatikan I, Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik, Dei Filius, Bab. III: DS 3008-3009: Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 5. [↩] Benediktus XVI, Sambutan di Collège des Bernardins, Paris (12 September 2008): AAS100 (2008), 722. [↩] Lih. Santo Augustinus, Confessions, XIII:1 [↩] Paus Yoannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117. [↩] Lih. Paus Yoannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87. [↩] Ditulis oleh: Gereja Katolik Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik Lihat semua artikel yang ditulis oleh: Gereja Katolik →

No comments:

Post a Comment