Tuesday 11 December 2012

Sinode Uskup-uskup: Evangelisasi Baru Untuk Menyebarkan Iman Kristen

PEMBAHASAN SAPAAN DAN PESAN SIDANG UNTUK UMAT SELURUHNYA 1. Seperti perempuan Samaria di sumur 2. Suatu evangelisasi baru 3. Perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus di dalam Gereja 4. Kesempaatan-kesempatan untuk berjumpa dengan Yesus dan mendengarkan Kitab Suci 5. Menginjili diri kita dan membuka diri untuk pertobatan 6. Menangkap peluang-peluang untuk evangelisasi dalam dunia dewasa ini. 7. Evangelisasi, keluarga dan hidup bakti 8. Komunitas-komunitas gerejawi dan banyak pelaku evangelisasi 9. Agar kaum muda boleh menjumpai Kristus. 10. Injil dalam dialog dengan budaya manusia serta pengalaman dan dengan agama-agama. 11. Memperingati Konsili Vatikan II dan mengacu ke Katekismus Gereja Katolik dalam Tahun Iman 12. Merenungkan misteri dan berada di pihak kaum miskin 13. Sepatah kata kepada Gereja-gereja di berbagai bagian dunia 14. Bintang Maria menerangi padang gurun Sinode Uskup-uskup Sidang Umum Biasa XIII Tema Sidang: EVANGELISASI BARU UNTUK PENYEBARLUASAN IMAN KRISTEN SAPAAN DAN PESAN SIDANG UNTUK UMAT SELURUHNYA Saudara-saudari, “Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan kita Yesus Kristus menyertai kamu”(Rm 1:7). Kami, Uskup-uskup dari seluruh dunia, atas undangan Uskup Roma, Sri Paus Benediktus XVI, bersidang untuk merefleksikan pokok “evangelisasi baru untuk penyebarluasan iman Kristen”. Sebelum kembali ke keuskupan-keuskupan kami, kami ingin menyapa Anda sekalian agar mendukung serta mengarahkan pemberitaan Injil di berbagai tempat di mana kita sekarang berada untuk memberikan kesaksian. 1. Seperti perempuan Samaria di sumur Mari kita mohon terang dari perikop Injil ini: perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria (lih. Yoh 4:5-42). Tidak ada seorang pun, laki atau perempuan, yang tidak mengalami seperti perempuan Samaria itu: duduk di pinggir sebuah sumur dengan tempayan kosong, dengan harapan akan terpenuhinya kerinduan hatinya yang paling dalam, yang dapat membuat hidupnya sungguh bermakna. Dewasa ini banyak sumur menawarkan diri sebagai pemuas dahaga umat manusia. Tetapi kita harus menyaring untuk menghindari air yang tercemar. Kita harus mencari ke arah yang tepat, agar tidak terjebak dalam kekecewaan yang bisa membawa kehancuran. Seperti Yesus di sumur Sikhar, Gereja juga merasa wajib duduk di samping orang-orang dewasa ini. Gereja ingin menghadirkan Yesus dalam kehidupan mereka agar mereka dapat menjumpai Dia, karena hanya Roh-Nya saja yang merupakan air yang memberikan kehidupan yang sejati dan kekal. Hanya Yesus yang dapat membaca kedalaman hati kita dan mengungkapkan kebenaran mengenai diri kita:”Ia mengatakan kepada saya segala sesuatu yang sudah saya perbuat”(Yoh 4:29), demikian pengakuan perempuan itu kepada orang-orang sekotanya. Kata- kata itu merupakan maklumat yang terkait dengan pertanyaan yang membuka hati untuk percaya:”Mungkinkah Dia itulah Kristus?”(ibid)”. Hal itu menunjukkan bahwa siapapun juga yang menerima hidup baru dari perjumpaannya dengan Yesus tidak dapat berbuat lain daripada memaklumkan kebenaran dan harapan kepada orang-orang lain. Pendosa yang bertobat menjadi pemaklum keselamatan dan dia mengantar seluruh kota kepada Yesus. Setelah menerima kesaksiannya, orang-orang itu beralih ke pengalaman perjumpaan pribadi:”Kami percaya tetapi bukan lagi karena apa yang engkau katakan; sebab kami sendiri sudah mendengar Dia, dan kami tahu bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia”(Yoh 4: 42). 2. Suatu evangelisasi baru Mengantar orang-orang zaman kita kepada Yesus, ke perjumpaan dengan Dia, adalah satu tugas yang mendesak, yang menyangkut semua bagian dunia, baik yang sudah lama maupun yang baru dievangelisasi. Sebab di mana-mana kita merasakan perlunya menghidupkan kembali iman yang menghadapi bahaya menjadi kabur dalam berbagai konteks budaya. Lingkup budaya itu membuat iman tidak berakar dalam hidup pribadi dan tidak kelihatan pengaruhnya dalam masyarakat; isi iman menjadi tidak jelas dan tidak menghasilkan buah yang sepadan. Bukan berarti bahwa kita harus mulai lagi dari awal; tetapi bahwa kita harus masuk menempuh jalan panjang pemakluman Injil dengan keberanian apostolik seperti Paulus yang sampai berkata, “Celakalah saya bila saya tidak memaklumkan Injil!”( I Kor 9:16). Sepanjang sejarah, mulai dari abad-abad pertama zaman kekristenan sampai sekarang, Injil telah membentuk komunitas-komunitas orang beriman di seluruh dunia. Entah besar atau kecil, itulah hasil buah pengabdian dari berbagai angkatan saksi Yesus – misionaris dan martir – yang kita peringati dengan penuh syukur. Perubahan pentas sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama memanggil kita untuk sesuatu yang baru: menghayati pengalaman iman kita sebagai komunitas dengan cara yang baru dan memaklumkannya dalam satu evangelisasi yang “baru dalam semangatnya, dalam metodanya, dan dalam ungkapannya”[1] sebagaimana dikatakan Yohanes Paulus II. Benediktus XVI mengingatkan bahwa itu adalah evangelisasi yang ditujukan “terutama kepada mereka yang, walaupun sudah dibaptis, namun menjauh dari Gereja dan hidup tanpa mengacu kepada hidup Kristen… untuk menolong orang-orang itu berjumpa dengan Tuhan yang memenuhi keberadaan kita dengan makna yang dalam dan damai; dan untuk membantu menemukan kembali iman, sumber rahmat yang membawa sukacita serta harapan bagi kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat”.[2] 3. Perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus di dalam Gereja Sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang semestinya ada dalam evangelisasi baru, kami merasa perlu menyampaikan kepada Anda keyakinan kami yang mendalam bahwa iman menentukan segala sesuatu dalam hubungan yang kita bangun dengan pribadi Yesus Kristus, yang mengambil inisiatif untuk menjumpai kita. Kerja evangelisasi baru adalah menampilkan sekali lagi perjumpaan dengan Kristus yang indah dan selalu baru kepada orang-orang zaman kita, kepada hati dan akal budinya yang sering bingung dan kacau, lebih-lebih kepada kita sendiri. Kami mengajak Anda untuk menatapi wajah Tuhan Yesus Kristus, untuk masuk ke dalam misteri hidup-Nya yang dianugerahkan bagi kita sampai di salib, yang diteguhkan kembali sebagai anugerah Bapa dalam pembangkitan-Nya dari antara orang mati, dan diberikan kepada kita melalui Roh. Dalam pribadi Yesus Kristus itu diungkapkan misteri kasih Allah Bapa untuk seluruh keluarga manusia. Dia tidak menghendaki bahwa kita tinggal dalam otonomi yang palsu. Sebaliknya, Ia mendamaikan diri kita dengan diri-Nya dalam satu perjanjian kasih yang diperbarui. Gereja adalah lingkup ruang, yang diberikan dalam sejarah oleh Kristus, tempat kita dapat menjumpai Dia; sebab kepada Gereja itu Ia mempercayakan Sabda-Nya, Baptisan yang membuat kita menjadi anak-anak Allah, Tubuh dan Darah-Nya, rahmat pengampunan dosa terutama dalam sakramen Rekonsiliasi, pengalaman akan persekutuan yang memantulkan misteri Tritunggal Kudus sendiri serta daya Roh Kudus yang menghasilkan kasih bagi sesama. Kita harus membentuk komunitas-komunitas yang ramah, tempat semua orang yang terpinggirkan merasa betah, serta pengalaman konkret mengenai persekutuan hidup dalam kekuatan kasih yang hangat – “Lihat betapa mereka saling mengasihi!”[3] – yang memikat pandangan manusia zaman ini. Keindahan iman harus memancar lebih-lebih dalam kegiatan Liturgi suci, terutama dalam Ekaristi Hari Minggu. Justru dalam perayaan liturgis itulah Gereja mengungkapkan diri sebagai karya Allah dan dalam sabda dan gerak-lakunya membuat makna Injil dapat dilihat. Kini tugas kitalah untuk membuat pengalaman Gereja bisa diterima secara konkret; untuk memperbanyak sumur ke mana orang-orang yang haus diundang untuk menjumpai Yesus, dan untuk menawarkan oasis di padang gurun kehidupan. Komunitas-komunitas Kristen dan setiap murid Tuhan dalam komunitas bertanggung jawab untuk hal ini: kepada masing-masing telah dipercayakan satu kesaksian yang tak tergantikan, sehingga Injil dapat masuk ke dalam kehidupan semua orang. Hal itu menuntut dari kita hidup yang kudus. 4. Kesempaatan-kesempatan untuk berjumpa dengan Yesus dan mendengarkan Kitab Suci Mungkin orang akan bertanya bagaimana melakukan semua itu. Kita tidak perlu menemukan strategi baru seakan-akan Injil itu satu produk yang harus dipajang di pasar agama-agama. Kita perlu menemukan kembali cara-cara Yesus mendekati orang dan memanggil mereka dan mempraktekkan cara-cara itu dalam lingkup masyaraakat dewasa ini. Kita ingat, misalnya, bagaimana Yesus menyapa Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes dalam lingkup pekerjaan mereka, bagaimana Zakeus dapat beralih dari sekadar rasa ingin tahu kepada kehangatan perjamuan dengan Guru; bagaimana perwira romawi meminta Yesus untuk menyembuhkan seorang yag dekat dengan dia, bagaimana orang yang lahir buta berseru kepada Yesus untuk membebaskan dirinya dari keadaan yang membuat dia terpinggirkan; bagaimana Martha dan Maria merasakan ganjaran kehadiran Yesus ketika Dia menjadi tamu rumah dan hati mereka. Dengan menelusuri Injil halaman demi halaman dan pengalaman misioner para rasul dalam-awal, kita dapat menemukan aneka cara dan lingkup hidup, di mana hidup orang dibuka bagi kehadiran Kristus. Sering membaca Kitab suci – diterangi oleh Tradisi Gereja yang meneruskannya kepada kita dan menjadi penafsirnya yang otentik – bukan hanya perlu untuk mengetahui isi Injil itu sendiri, yaitu pribadi Yesus dalam konteks sejarah penyelamatan. Membaca Kitab Suci juga membantu kita untuk menemukan kesempatan untuk menjumpai Yesus serta pendekatan-pendekatan yang sungguh injili yang berakar dalam dimensi-dimensi fundamental hidup manusia: keluarga, pekerjaan, persahabatan, beraneka bentuk kemiskinan dan pencobaan dalam hidup dan sebagainya. 5. Menginjili diri kita dan membuka diri untuk pertobatan Kita hendaknya tidak berpikiran seakan-akan evangelisasi baru tidak menyangkut diri pribadi kita. Pada hari-hari ini para Uskup angkat suara untuk mengingatkan bahwa Gereja harus pertama-tama memperhatikan Sabda sebelum dia dapat menginjili dunia. Ajakan untuk evangelisasi menjadi panggilan untuk pertobatan. Kami percaya teguh bahwa kita harus lebih dahulu berpaling kepada kekuatan Kristus; Dia sendirilah yang dapat membuat segalanya baru, lebih-lebih keberadaan kita yang miskin. Dalam kerendahan, kita harus mengakui bahwa kemiskinan serta kelemahan murid-murid Yesus, lebih-lebih para pelayan-Nya, membebani kredibilitas misi. Kita – pertama-tama kami para Uskup – pasti menyadari bahwa kita tidak pernah sungguh-sungguh mengimbangi panggilan dan perintah Tuhan untuk memaklumkan Injil kepada bangsa-banga. Kita tahu bahwa kita dengan rendah hati harus mengakui bahwa kita pun terkena luka-luka sejarah dan kita tidak ragu-ragu untuk mengakui dosa-dosa pribadi kita. Akan tetapi kita juga yakin bahwa Roh Tuhan mampu membarui Gereja-Nya dan membuat pakaiannya berkilau-kilauan bila kita membiarkan diri kita dibentuk oleh-Nya. Hal itu kelihatan dalam kehidupan para Kudus, yang patut dikenang dan dikisahkan sebagai sarana istimewa untuk evangelisasi baru. Andaikata pembaruan ini bergantung pada kita, maka ada alasan serius untuk ragu-ragu. Tetapi pertobatan dalam Gereja, persis sama seperti evangelisasi, terjadi bukan pertama-tama oleh kita makhluk yang fana dan papa, melainkan lebih-lebih oleh Roh Tuhan. Di sinilah kita mendapatkan kekuatan dan kepastian kita bahwa si jahat tidak pernah akan mempunyai kata akhir entah di dalam Gereja atau pun dalam sejarah:”Jangan gelisah dan gentar hatimu”(Yoh 14:27), kata Yesus kepada murid-murid-Nya. Kerja evangelisasi baru bertumpu pada kepastian yang cerah ini. Kita percaya pada inspirasi dan daya Roh Kudus, yang akan mengajarkan kepada kita apa yang harus kita katakan dan apa yang harus kita buat juga pada saat-saat yang paling sulit. Karena itu, tugas kitalah untuk mengatasi rasa takut dengan iman, kekuatan dengan harapan,dan ketidakpedulian dengan kasih. 6. Menangkap peluang-peluang untuk evangelisasi dalam dunia dewasa ini. Keberanian penuh semangat ini juga memengaruhi cara kita memandang dunia dewasa ini. Kita tidak merasa kecut oleh karena suasana zaman dalam mana kita hidup. Dunia kita penuh dengan kontradiksi dan tantangan, tetapi ia tetap merupakan ciptaan Allah. Dunia terluka oleh yang jahat, tetapi Allah tetap mencintainya. Dunia merupakan ladang-Nya di mana benih Sabda bisa ditaburkan lagi agar sekali lagi menghasilkan buah. Tidak ada ruang bagi pesimisme dalam budi serta hati mereka yang tahu bahwa Tuhan mereka sudah mengalahkan kematian dan bahwa Roh-Nya bekerja dengan kuasa di dalam sejarah. Kita mendekati dunia ini dengan kerendahan, tetapi juga dengan kebulatan hati, karena kepastian bahwa kebenaran akhirnya akan menang. Kita membuka mata untuk melihat dalam dunia ini undangan Kristus yang Bangkit untuk menjadi saksi bagi nama-Nya. Gereja kita hidup dan menghadapi tantangan-tantangan sejarah dengan keberanian iman serta kesaksian banyak putera-puterinya. Kita tahu bahwa kita harus menghadapi di dunia ini satu pertempuran melawan “pemerintah-pemerintah” dan “penguasa-penguasa”,serta “roh-roh jahat” (Ef 6:12). Kita tidak tutup mata terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan oleh tantangan-tantangan itu, tetapi kita tidak menjadi takut karenanya. Hal itu benar terutama terhadap fenomena globalisasi yang bagi kita harus merupakan peluang untuk memperluas kehadiran Injil. Walaupun ada beban berat dalam menerima migran sebagai saudara dan saudari, migrasi tetap merupakan peluang untuk menyebarkan iman dan membangun persektuan dalam segala bentuknya. Sekularisasi, tetapi juga krisis sekitar kekuasaan politik dan negara, mendesak Gereja untuk memikirkan kembali kehadirannya di tengah masyarakat tetapi bukan untuk meninggalkannya. Bentuk-bentuk kemiskinan yang banyak dan selalu baru membuka kesempatan baru untuk pelayanan kasih: pemakluman Injil mengikat Gereja untuk ada bersama kaum miskin dan memikul penderitaan mereka seperti Yesus. Bahkan juga dalam bentuk-bentuk yang paling kasar dari ateisme dan agnostisisme, kita dapat mengenali – walaupun dalam cara-cara yang kontradiktif – adanya kerinduan dan bukan kekosongan, serta penantian yang mau mendapatkan satu jawaban yang tepat. Terhadap persoalan-persoalan yang diajukan kepada iman dan Gereja oleh budaya-budaya yang dominan, kita membarui kepercayaan kita kepada Tuhan, karena yakin bahwa juga dalam lingkup budaya-budaya itu Injil adalah pembawa terang dan mampu menyembuhkan setiap kelemahan insani. Bukan kitalah yang harus memimpin karya evangelisasi, tetapi Allah, sebagaimana Sri Paus mengingatkan kita:”Kata yang pertama, inisiatif yang benar, aktivitas yang sejati datang dari Allah; dan hanya sejauh kita meyelip masuk ke dalam inisiatif ilahi, hanya dengan memohonkan inisiatif ilahi itu, kita juga – bersama Dia dan dalam Dia – akan mampu menjadi penginjil”.[4] 7. Evangelisasi, keluarga dan hidup bakti Sudah sejak evangelisasi yang pertama, keluarga adalah lingkup alamiah, tempat penyebarluasan iman dari satu generasi ke generasi berikutnya; di situ, tanpa mengurangi figur serta tanggung jawab bapak keluarga, perempuan mempunyai peranan yang amat khusus. Dalam mewujudkan pemeliharaan keluarga untuk pendewasaan anak-anak, anak-anak itu diantar masuk ke dalam tanda-tanda iman, komunikasi dengan kebenaran-kebenaran dasar, pendidikan dalam doa serta kesaksian atas buah-buah cinta kasih. Walaupun datang dari situasi geografis, budaya dan sosial yang berbeda-beda, namun semua Uskup dalam Sinode menegaskan kembali peranan dasar dari keluarga dalam penyebaran iman. Tidak terpikirkan satu evangelisasi baru tanpa merasakan adanya tanggungjawab khusus untuk memaklumkan Injil kepada keluarga-keluarga dan untuk menopang mereka dalam tugas pendidikannya. Tidak bisa disangkal kenyataan bahwa dewasa ini keluarga, yang terbentuk dalam perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang membuat mereka menjadi “satu daging saja”(Mat 19:6) dan terbuka untuk kehidupan, di mana-mana dihadapkan pada faktor-faktor krisis, dikelilingi oleh model-model kehidupan yang mempersulitnya, diabaikan oleh politik masyarakat padahal dia menjadi inti masyarakat itu, tidak selalu diindahkan dalam iramanya dan ditopang dalam tugasnya oleh komunitas-komunitas gerejawi sendiri. Justru itulah yang mendorong kami untuk megatakan bahwa kita harus memberikan reksa khusus untuk keluarga serta tugasnya dalam masyarakat dan Gereja, dengan mengembangkan cara-cara khusus untuk pendampingan sebelum dan sesudah perkawinan. Kami juga mau menyampaikan terima kasih kepada begitu banyak pasangan dan keluarga Kristen yang, dengan kesaksiannya, menunjukkan kepada dunia satu pengalaman persekutuan serta pelayanan, yang merupakan benih untuk satu masyarakat yang lebih bersaudara dan damai. Juga terbayang dalam pikiran kami situasi keluarga serta hidup bersama yang tidak menaruh hormat pada citra persatuan dan kasih untuk seluruh hidup yang diserahkan Tuhan kepada kita. Ada pasangan-pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan sakramen perkawinan; bertambah banyak keadaan keluarga yang irregular yang dibangun setelah gagal perkawinan sebelumnya: duka cita pasangan yang juga membawa penderitaan bagi anak-anak untuk pendidikan imannya. Kepada mereka itu semuanya kami mau menyatakan bahwa kasih Tuhan tidak meninggalkan seorang pun, bahwa juga Gereja mencintai mereka dan terbuka untuk mereka semua, bahwa mereka tetap anggota Gereja juga kalau mereka tidak dapat menerima absolusi sakramental dan Ekaristi. Komunitas-komunitas katolik hendaknya terbuka untuk menerima mereka yang hidup dalam situasi demikian dan membantu mereka dalam proses pertobatan serta rekonsiliasi. Kehidupan keluarga adalah tempat pertama di mana Injil bertemu dengan kehidupan sehari-hari dan menunjukkan kemampuannya untuk mengubah kondisi kehidupan yang fundamental ke dalam cakrawala kasih. Tetapi yang tidak kalah penting untuk kesaksian Gereja adalah menunjukkan bagaimana kehidupan yang sementara ini memiliki kepenuhan yang melampaui sejarah manusia dan menuju ke persekutuan kekal dengan Allah. Kepada perempuan Samaria Yesus tidak saja memperkenalkan diri sebagai yang memberikan kehidupan, tetapi sebagai Dia yang memberikan “kehidupan kekal” (Yoh 4:14). Anugerah Allah yang kita terima berkat iman, bukan hanya janji untuk keadaan hidup yang lebih baik di dunia ini, tetapi maklumat bahwa makna hidup kita yang paling tinggi melampaui dunia ini, berada dalam persekutuan penuh dengan Allah yang kita nantikan pada akhir zaman. Mengenai cakrawala eksistensi manusia yang ultra-dunia ini ada saksi-saksi dalam Gereja dan dunia yang Tuhan panggil untuk hidup bakti. Justru karena dibaktikan secara total kepada Tuhan dengan hidup dalam ketaatan, tanpa milik dan dalam kemurnian, maka hidup bakti merupakan tanda dunia yang akan datang, yang merelativasi setiap harta benda dunia ini. Sidang Sinode para Uskup menyampaikan terima kasih kepada Saudara-saudari ini atas kestiaan mereka kepada panggilan Tuhan dan atas sumbangan yang sudah dan sekarang mereka berikan untuk misi Gereja. Kami mengajak mereka untuk tetap berharap dalam situasi yang sulit juga untuk mereka, dalam masa perunahan ini. Kami mengajak mereka untuk berdiri teguh sebagai saksi serta penggerak evangelisasi baru di berbagai medan kehidupan, tempat mereka ditugaskan oleh kharisma lembaga mereka. 8. Komunitas-komunitas gerejawi dan banyak pelaku evangelisasi Karya evangelisasi bukanlah hak khusus hanya untuk pribadi atau kelompok tertentu dalam Gereja, melainkan karya komunitas –komunitas gerejawi itu sendiri, tempat orang bisa mendapatkan sarana untuk perjumpaan dengan Yesus: Sabda, sakramen, persekutuan persaudaraan, pelayanan kasih, misi. Dalam perspektif itu, peranan paroki mencuat lebih-lebih sebagai kehadiran Gereja di tempat orang-orang hidup, “mata air kampung”, begitu Yohanes XXIII biasa menyebutnya; dari mata air itu semua bisa minum dan merasakan di dalamnya kesegaran Injil. Paroki tidak bisa ditinggalkan, meskipun mungkin perlu perubahan, entah agar ditata dalam komunitas-komunitas Kristen yang kecil atau agar dibangun jaringan kerja sama dalam konteks pastoral yang lebih luas. Kami mendorong paroki-paroki untuk menjalin bentuk-bentuk misi yang baru sebagaimana dituntut oleh evangelisasi baru dengan reksa pastoral yang tradisional untuk umat Allah. Itu harus juga menyerap berbagai ungkapan penting dari devosi-devosi umat. Di dalam paroki, pelayanan imam – bapak dan gembala umat – tetap amat penting. Kepada semua imam, para Uskup dari Sidang Sinode menyampaikan ucapan terima kasih serta simpati persaudaraan atas tugas mereka yang sulit. Kami mengajak mereka untuk memperkuat ikatan dalam presbiterium keuskupan, memperdalam hidup rohani mereka, dan terus mengusahakan pembentukan diri agar mampu menghadapi perubahan-perubahan. Di samping para imam, kehadiran para diakon harus juga didukung, demikian juga kegiatan pastoral katekis dan banyak pelayan serta penggerak lain dalam bidang pewartaan, katekese, hidup liturgis serta pelayanan kasih. Berbagai bentuk partisipasi dan peranserta kaum beriman harus juga digiatkan. Rasanya tidak cukup ucapan terima kasih kami kepada kaum awam, laki dan perempuan, atas dedikasi mereka dalam berbagai pelayanan di komunitas-komunitas kita. Juga kepada mereka semua kami minta agar kehadiran serta peaayanan mereka dalam gereja ditempatkan dalam perspektif evangelisasi baru, sambil memperhatikan pembentukan kemanusiaan dan kekristenan mereka sendiri, pemahaman mereka akan iman serta kepekaan mereka terhadap fenomen budaya kontemporer. Menyangkut kaum awam, kami ingin menyampaikan satu dua kata khusus kepada berbagai bentuk asosiasi lama maupun baru, serta gerakan eklesial dan komunitas-komunitas yang baru: Semuanya adalah ungkapan kekayaan anugerah yang diberikan oleh Roh Kudus kepada Gereja. Kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada bentuk-bentuk kehidupan serta komitmen di dalam Geeja ini, sambil menyemangati mereka untuk setia kepada kharisma mereka yang khusus dan kepada persekutuan gerejawi yang sungguh lebih-lebih dalam konteks konret Gereja partikular. Juga kesaksian untuk Injil bukan hak khusus satu atau dua orang. Dengan gembira kami menyaksikan kehadiran banyak orang, laki dan perempuan, yang dengan cara hidupnya menjadi tanda injil di tengah dunia. Kami juga menyaksikan adanya orang-orang seperti itu di antara begitu banyak saudara-saudari Kristen; sayang bahwa persatuan dengan mereka belum penuh, namun mereka ditandai dengan Baptisan Tuhan dan mereka mewartakannya. Dewasa ini ada pengalaman yang mengharukan kita ketika kita mendengarkan banyak pemimpin Gereja-gereja serta komunitas-komunitas gerejawi yang memberikan kesaksian tentang kehausan mereka akan Kristus serta dedikasinya untuk pemakluman Injil. Mereka juga yakin bahwa dunia memerlukan satu evangelisasi baru. Kita bersyukur kepada Tuhan atas rasa persatuan ini mengenai perlunya misi. 9. Agar kaum muda boleh menjumpai Kristus. Kaum muda amat dekat di hati kami, karena mereka adalah bagian yang penting dari umat manusia dan Gereja dewasa ini serta juga masa depannya. Mengenai mereka Uskup-uskup sama sekali tidak pesimis. Keprihatinan memang ada, sebab merekalah yang jadi sasaaran utama dari serangan-serangan yang paling gencar di zaman kita ini. Meskipun begitu kami tidak pesimistik, lebih-lebih karena di kedalaman sejarah kasih Kristus bergerak; tetapi juga karena kami merasakan dalam orang-orang muda kita adanya hasrat yang dalam untuk keotentikan, kebenaran, kebebasan, kemurahan hati; kami yakin bahwa jawaban yang tepat atas semuanya itu adalah Kristus. Kami mau mendukung mereka dalam pencarian mereka. Dan kami mendorong komuntas-komunitas kita untuk mendengarkan mereka, berdialog dengan mereka dan tidak segan-segan memberikan jawaban yang tegas atas kondisi sulit kaum muda itu. Kami menghendaki agar komunitas-komunitas kita tidak menekan daya antusiasme orang muda itu tetapi mengimbanginya; dan untuk berjuang bersama mereka melawan kepalsuan serta petualangan kuasa-kuasa duniawi yang egoistis yang, untuk keuntungannya sendiri, menguras energi dan menghamburkan gairah orang-orang muda, dengan melepaskan mereka dari setiap kenangan penuh syukur atas masa lalu dan dari setiap visi yang dalam tentang masa depan. Dunia orang-orang muda memang menuntut tetapi juga menjanjikan banyak untuk Evangelisasi Baru. Hal itu diperlihatkan oleh adanya banyak pengalaman, mulai dari yang menarik banyak orang muda seperti “World Youth Day” sampai ke yang paling tersembunyi – tetapi penuh daya – seperti berbagai pengalaman spiritualitas, pelayanan serta misi. Harus diakui peranan aktif orang muda dalam menginjili pertama-tama dan terutama dunia mereka. 10. Injil dalam dialog dengan budaya manusia serta pengalaman dan dengan agama-agama. Evangelisasi Baru berpusat pada Kristus dan pada kepedulian terhadap pribadi manusia agar terjadi perjumpaan yang sungguh hidup dengan Kristus. Akan tetapi cakrawala penginjilan itu seluas dunia dan melampaui penglaman manusia yang manapun. Hal itu berarti bahwa dialog dengan budaya dikembangkan dengan hati-hati dengan keyakinan bahwa “benih-benih Sabda” dapat ditemukan di dalamnya, seperti sudah dikatakan oleh Bapak-bapak dari tempo dulu. Khususnya evangelisasi baru membutuhkan satu bentuk hubungan yang dibarui antara iman dan akal. Kami yakin bahwa iman punya kemampuan untuk menerima buah-buah pemikiran yang sehat yang terbuka bagi yang transenden, dan punya kekuatan untuk menyehatkan batas-batas serta kontradiksi yang ke dalamnya iman dapat jatuh. Iman tidak menutup mata, juga terhadap persoalan-persoalan gawat yang timbul dari adanya yang jahat dalam hidup dan sejarah manusia; iman itu membangkitkan terang pengharapan dari Misteri Paskah Kristus. Perjumpaan antara iman dan akal juga menguatkan komitmen komunitas Kristen dalam bidang pendidikan dan budaya. Lembaga-lembaga pendidikan serta penelitian – sekolah dan universitas – menduduki tempat khusus dalam hal ini. Di manapun intelegensi manusia dikembangkan dan dibentuk, Gereja dengan senang memberikan pengalaman serta sumbangannya untuk pembentukan integral pribadi manusia. Dalam konteks itu, perhatian khusus harus diberikan kepada sekolah katolik, universitas katolik, lembaga pendidikan dan budaya yang otentik, di mana keterbukaan kepada yang transenden harus dipenuhi dalam perjalanan menuju perjumpaan dengan Yesus Kristus dan gereja-Nya. Semoga ucapan terima kasih para Uskup sampai ke semua orang yang terlibat dalam hal itu, meskipun dalam kondisi yang kadang-kadang sulit. Evangelisasi meminta perhatian besar pada dunia komunikasi sosial, lebih-lebih media yang baru, di mana berpadu banyak kehidupan, persoalan dan harapan. Disitulah sering kali suara hati terbentuk, tempat orang menghabiskan waktunya dan melangsungkan kehidupannya. Di situ ada peluang baru untuk menyentuh hati manusia. Satu bidang khusus untuk pertemuan antara iman dan akal dewasa ini adalah dialog dengan ilmu pengetahuan. Hal itu sama sekali tidak jauh dari iman, sebab ilmu pengetahuan itu memancarkan prinsip spiritual yang ditempatkan Tuhan di dalam makhluk ciptaan-Nya. Kita dapat melihat struktur-struktur rasional, yang atasnya makhluk ciptaan itu dibangun. Apabila ilmu pengeahuan dan tekhnologi tidak gegabah untuk mengurung manusia serta dunia dalam suatu materialisme yang tandus, maka keduanya menjadi sarana yang tidak ternilai untuk membuat kehidupan lebih manusiawi. Ucapan terima kasih kami juga untuk mereka yang terlibat dalam bidang ilmu pengetahuan yang sensituf itu. Kami juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka yang terlibat dalam ungkapan “genius” insan lainnya, yaitu seni dalam aneka ragam bentuk, dari yang paling antik sampai yang paling baru. Kami melihat dalam karya seni satu cara yang sungguh penuh makna dalam mengungkapkan spiritalitas, sebab karya seni itu berusaha untuk menjelmakan daya tarik manusia kepada keindahan. Kita bersyukur bila para artis, melalui ciptaannya yang indah, menampilkan keindahan wajah Allah dan makhluk ciptaan-Nya. Jalan keindahan adalah jalan yang amat efektif untuk evangelisasi baru. Selain karya seni, semua aktivitas manusiawi menarik perhatian kita sebagai bagi kita untuk bekerja sama dengan penciptaan ilahi melalui pekerjaan. Kami ingin mengingatkan dunia ekonomi serta pekerjaan mengenai sejumlah hal yang timbul dari terang Injil: bebaskan pekerjaan dari kondisi-kondisi yang tidak jarang membuatnya menjadi beban yang tidak terpikulkan dan masa depan yang tidak pasti karena kini sering terancam oleh pengangguran orang-orang muda; menjadikan pribadi manusia sebagai pusat perkembangan ekonomi; memikirkan perkembangan itu sendiri sebagai peluang bagi umat manusia untuk bertumbuh dalam keadilan dan pesatuan. Dalam pekerjaan untuk mengubah dunia itu manusia dipanggil juga untuk menyelamatkan integritas ciptaan Allah demi pertanggungjawaban kepada generasi yang akan datang. Injil juga memberikan terang atas penderitaan yang disebabkan oleh penyakit. Orang-orang Kristen harus membantu orang sakit agar mereka merasa bahwa Gereja dekat dengan mereka yang sakit atau menderita keterbatasan fisik. Kita pantas berterima kasih kepada semua orang yang secara pribadi dan manusiawi merawat orang-orang itu. Politik adalah juga bidang yang dapat dan harus diterangi cahaya Injil agar langkah manusia diterangi. Politik menuntut komitmen untuk secara transparan dan tanpa tanpa interese pribadi memperhatikan kesejahteraan umum dengan sepenuhnya menghormati martabat manusia sedari kandungan sampai ke akhir yang kodrati, dengan menghormati keluarga yang didasarkan atas perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan dengan melindungi kebebasan akademik; dengan memberantas sebab-sebab ketidakadilan, ketidaksetaraan, diskriminasi, kekerasan, rasisme, kelaparan dan perang. Orang-orang Kristen diminta untuk memberikan kesaksian yang jelas mengenai perintah cinta kasih dalam menjalankan politik. Akhirnya Gereja menganggap para penganut agama-agama lain sebagai mitra dialognya yang sudah sewajarnya. Seseorang memaklumkan Injil karena orang itu yakin akan kebenaran Kristus, dan bukan karena mau melawan orang lain. Injil Yesus adalah damai dan suka cita, dan murid-murid-Nya dengan senang mengakui apa saja yang benar dan baik yang disebarkan oleh roh keagamaan umat manusia di dalam dunia ciptaan Allah dan ditampilkan dalam bentuk beraneka agama. Dialog antara para penganut berbagai agama pasti merupakan sumbangan untuk perdamaian. Dialog itu menolak setiap fundamentalisme dan mencela setiap kekerasan terhadap orang-orang beriman sebagai pelanggaran serius terhadap hak-hak manusia. Gereja-gereja di seluruh dunia bersatu dalam doa dan dalam persaudaraan dengan saudara-saudari yang menderita, dan memohon kepada mereka yang bertanggung jawab atas nasib masyarakat untuk melindungi hak setiap orang untuk dengan bebas memilih, mengakui dan memberi kesaksian tentang iman seseorang. 11. Memperingati Konsili Vatikan II dan mengacu ke Katekismus Gereja Katolik dalam Tahun Iman Pada jalan yang dirintis oleh Evangelisasi Baru, kita mungkin juga merasa seakan-akan kita berada di padang gurun, di tengah bahaya sera tiadanya titik-titik acuan. Bapak Suci Benediktus XVI, dalam homilnya utuk misa pembukaan Tahun Iman, berbicara mengenai “desertifikasi rohani” yang semakin berkembang dalam dekade terakhir. Tetapi dia juga membesarkan hati kita dengan menegaskan bahwa “justru dengan bertolak dari pengalaman padang gurun ini, dari kehampaan ini, kita dapat menemukan lagi kegembiraan dalam beriman; hal itu amat penting untuk kita. Di padang gurun kita menemukan kembali nilai dari apa yang esensial untuk kehidupan”[5]. Di padang gurun, seperti perempuan Samaria, kita mencari air dan sumur untuk minum darinya: berbahagialah dia yang menjumpai Kristus di sana! Kita berterima kasih kepada Bapak Suci untuk hadiah Tahun Iman, gerbang yang berharga untuk masuk ke jalan evangelisasi baru. Kita berterima kasih kepada Beliau juga karena telah mengaitkan Tahun ini dengan peringatan penuh syukur atas pembukaan Konsili Vatikan II lima puluh tahun yang lalu.Magisterium Konsili yang fundamental untuk zaman kita bersinar dalam Katekismus Gereja Katolik, yang sekali lagi diketengahkan sebagai referensi iman yang pasti dua puluh tahun setelah publikasinya. Itulah peringatan-peringatan yang penting, yang membantu kita memperkuat kelekatan kita yang dekat pada ajaran Konsili serta komitmen kita yang kuat untuk melaksanakan implementasinya. 12. Merenungkan misteri dan berada di pihak kaum miskin Dalam perspektif itu kami ingin menunjukkan kepada umat beriman sekalian dua pengungkapan hidup iman yang tampaknya punya bobot khusus sebagai kesaksian kita dalam Evanglisasi Baru. Hanya dari tatapan pada misteri Allah serta penyembahan Bapa, Putera dan Roh Kudus, hanya dari keheningan yang dalam, yang berperan bagaikan rahim yang menerima satu-satunya Sabda penyelamatan, mencuatlah kesaksian yang dapat dipercaya oleh dunia. Hanya keheningan dalam doa inilah yang dapat menjaga agar sabda keselamatan tidak hilang di dalam rebut gaduh dunia ini. Sekarang kami meyampaikan satu dua kata terima kasih kepada semua orang, laki dan perempuan, yang membaktikan dirinya untuk doa dan kontemplasi di biara dan pertapaan-pertapaan. Tetapi perlulah bahwa saat-saat kontemplasi terjalin juga dengan hidup orang sehari-hari: ada ruang dalam jiwa, tetapi juga ada ruang fisik, yang mengingatkan kita akan Allah; ada tempat kudus dalam batin dan kanisah dari batu yang, bagaikan tempat penyeberangan, menjaga agar kita tidak tenggelam dalam banjir pengalaman; ada kesempatan ketika semua dapat merasa diterima, juga mereka yang hampir tidak tahu apa dan siapa yang harus dicari. Simbol kedua untuk keotentikan evangelisasi baru mempunyai wajah orang miskin. Menempatkan diri berdampingan dengan orang yang terluka oleh kehidupan bukan hanya satu latihan sosial, tetapi lebih sebagai tindakan spiritual sebab wajah Kristus sendirilah yang bersinar dalam wajah orang miskin:”Apapun juga yang kamu lakukan bagi salah satu dari saudara-saudara-Ku yang paling kecil ini, kamu melakukannya untuk Aku”(Mat 25:40). Kita harus mengakui bahwa orang miskin mendapat tempat istimewa dalam komunitas-komunitas kita, bukan untuk menyingkirkan seseorang, tetapi mau merefleksikan bagaimana Yesus mengikat diri-Nya pada mereka. Kehadiran orang miskin dalam komunitas-komunitas kita penuh daya yang misterius: hal itu mengubah orang lebih daripada yang terjadi karena satu ceramah, hal itu mengjarkan ke setiaan, membuat kita memahami kerapuhan hidup kita, mengajak kita untuk berdoa; pendek kata hal itu mengantar kita kepada Kristus. Di lain pihak, ungkapan kasih harus juga disertai dengan komitmen untuk keadilan, dengan satu seruan kepada semua, yang miskin dan yang kaya. Karena itu ajaran sosial Gereja harus diintegrasikan ke dalam jalur evangelisasi baru, juga pembentukan orang kristen untuk membaktikan diri pada pelayanan bagi umat manusia dalam bidang sosial dan politik. 13. Sepatah kata kepada Gereja-gereja di berbagai bagian dunia Mata Uskup-uskup yang berada dalam sidang sinodal terarah kepada semua komunitas eklesial yang tersebar di seluruh dunia. Pandangan mereka diusahakan agar komprehensif, karena panggilan untuk menjumpai Kristus itu satu,walaupun dalam keanekaragaman. Dengan afeksi persaudaraan serta ucapan terima kasih, para Uskup dalam Sinode ingat akan Anda, orang-orang Kristen dari Gereja Timur Katolik, yang menjadi ahli waris evangelisasi gelombang pertama – satu pengalaman yang dijaga dengan kasih dan setia- serta mereka yang ada di Eropa Timur. Dewasa ini Injil datang kembali kepada Anda dalam satu evangelisasi baru melalui hidup liturgis, katekese, doa harian dalam keluarga, puasa, solidaritas antarkeluarga, partisipasi awam dalam hidup komunitas-komunitas dan dalam dialog dengan masyarakat. Di banyak tempat Gereja-gereja Anda berada dalam pencobaan dan gangguan yang membuatnya menjadi saksi partisipasi dalam sengsara Kristus. Sejumlah orang beriman terpaksa mengungsi. Sambil tetap memelihara persatuan dengan komunitas asal mereka, mereka dapat menyumbangkan tenaganya untuk reksa pastoral serta karya evangelisasi di negeri-negeri yang menerima mereka. Semoga Tuhan tetap melimpahkan berkat-Nya kesetiaan Anda. Semoga di waktu-waktu yang akan datang, hidup Anda boleh ditandai dengan pengakuan iman yang cerah serta penghayatannya dalam damai dan keebebasan beragama. Kami mengarahkan pandangan kepada Anda, orang-orang Kristen, yang hidup di Negara-negara di Afrika, dan kami menyampaikan terima kasih kami kepada Anda atas kesaksian Injil yang Anda berikan, sering di tengah keadaan yang rumit. Kami mengajak Anda untuk menghidupkan kembali evangelisasi yang Anda terima dalam waktu-waktu belakangan ini, membangun Gereja sebagai keluarga Allah, memperkuat identitas keluarga serta mendukung komitmen imam-imam dan katekis terutama di dalam komunitas-komunitas Kristen yang kecil. Kami menegaskan perlunya mengembangkan perjumpaan antara Injil dan budaya-budaya lama dan baru. Amat dinantikan dan dengan kuat diserukan kepada dunia politik serta pemerintahan di berbagai Negara di Afrika agar, dalam kerja sama dengan orang-orang berkehendak baik, hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi dan benua itu dibebaskan dari kekerasan dan konflik yang masih saja terjadi. Uskup-uskup di Sidang sinodal mengajak Anda, umat Kristen di Amerika Utara, agar menanggapi dengan gembira panggilan untuk evangelisasi baru. Kami melihat dengan rasa syukur betapa komunitas-komunitas muda di negeri Anda sudah menghasilkan buah iman, kasih dan misi yang melimpah. Anda perlu mengakui masih adanya banyak ungkapan budaya dewasa ini di negeri Anda yang kini jauh dari Injil. Diperlukan pertobatan yang melahirkan komitmen bukan untuk keluar dari budaya Anda melainkan untuk tetap tinggal di tengah budaya itu agar menyinarinya dengan terang iman dan daya hidup. Sebagaimana Anda dengan tangan terbuka menerima imigran serta pengungsi menjadi penduduk baru di tanah Anda, semoga Anda juga mau membuka pintu rumah untuk iman. Tetaplah setia pada komitmen yang sudah dinyatakan dalam Sidang sinodal untuk Amerika, bersatulah dengan Amerika Latin dalam melanjutkan evangelisasi di benua yang Anda diami bersama. Sidang sinodal menyampaikan perasaan syukur yang sama kepada Gereja di Amerika Latin dan Karibia. Dari negeri-negeri Anda, amat mengesan sepanjang masa pertumbuhan aneka bentuk kesalehan rakyat yang tetap melekat di hati banyak orang, serta pelayanan kasih dan dialog dengan budaya-budaya. Kini, dalam menghadapi banyak tantangan, terutama kemiskinan dan kekerasan, kami memberanikan Gereja di Amerika Latin dan Karibia untuk terus hidup dengan semangat misioner, memaklumkan Injil penuh harapan dan sukacita, membentuk komunitas-komuntes murid Kristus yang sungguh misioner, dengan memperlihatkan dalam komitmen putera-puterinya betapa Injil dapat menjadi sumber untuk satu masyarakat yang baru, adil dan bersaudara.Pluralisme agama juga menguji Gereja-gereja Anda dan menuntut pemakluman Injil secara baru. Kepada Anda, orang-orang Kristen di Asia, kami juga memberikan semangat dan menyampaikan ajakan. Sebagai minoritas kecil di benua yang menampung hampir sepertiga penduduk dunia, kehadiran Anda merupakan benih subur yang dipercayakan kepada kuasa Roh kudus, yang bertumbuh dalam dialog dengan bermacam-macam budaya, dengan agama-agama tua dan dengan orang miskin yang tak terbilang. Kendati sering disingkirkan oleh masyarakat dan di banyak tempat juga dikejar-kejar, Gereja di Asia, dengan imannya yang kokoh, merupakan kehadiran Injil Kristus yang berharga, yang mewartakan keadilan, kehidupan dan harmoni. Orang-orang Kristen Asia, rasakanlah kedekatan persaudaraan dengan orang Kristen di bagian lainnya di dunia, yang tidak dapat melupakan bahwa justru di benua Anda – di Tanah suci – Yesus lahir, hidup, wafat dan bangkit dari antara orang mati. Uskup-uskup menyampaikan ucapan terima kasih kepada Gereja-gereja di benua Eropa, yang sebagian dewasa ini dilanda sekularisasi yang kuat, kadang-kadang agresif; sebagian lagi masih terluka oleh regim-regim puluhan tahun yang memusuhi Allah dan humanitas. Kami melihat ke masa lalu dengan penuh syukur, tetapi juga ke masa kini, ketika di Eropa Injil menghasilkan pengungkapan serta pengalaman iman yang khusus – sering meluap dengan kekudusan – yang menentukan untuk evangelisasi di seluruh dunia: pemikiran teologi yang kaya, berbagai bentuk kharisma, beraneka pelayanan kasih bagi yang miskin, pengalaman kontemplatif yang dalam, pembentukan budaya yang humanistik yang merupakan sumbangan untuk menggariskan wajah martabat pribadi dan kesejahteraan umum. Semoga kesulitan-kesulitan yang kini ada tidak mematahkan semangat Anda sekalian, orang-orang Kristen Eropa; sebaliknya, semoga Anda menganggapnya sebagai tantangan untuk mengatasinya dan kesempatan untuk memaklumkan Kristus dan Injil kehidupan dengan lebih hidup dan dengan sukacita yang besar. Akhirnya, Uskup-uskup dari Sidang sinodal menyalami umat di Oseania yang hidup di bawah perlindungan Salib Selatan. Kami berterima kasih kepada Anda atas kesaksian Anda mengenai Injil Yesus Kristus. Doa kami untuk Anda ialah agar semoga Anda merasakan kehausan yang dalam akan hidup baru, seperti perempuan samaria di sumur, dan semoga Anda mampu mendengarkan sabda Yesus yang berkata:”Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah”(Yoh 4:10). Semoga Anda semakin kuat merasakan komitmen untuk mewartakan Injil dan membuat Yesus dikenal di seluruh dunua dewasa ini. Kami mengajak Anda untuk menjumpai Dia dalam hidup Anda sehari-hari, mendengarkan Dia dan, melalui doa serta meditasi, menemukan anugerah untuk bisa mengatakan:”Kami tahu bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia”(Yoh 4:42). 14. Bintang Maria menerangi padang gurun Di akhir pengalaman persekutuan Uskup-uskup seluruh dunia dan kerja sama dengan pelayanan Pengganti Petrus, kami mendengar bergema dalam diri kami perintah Yesus yang aktual kepada rasul-rasul-Nya:”Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku…dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantisa sampai kepada akhir zaman”(Mat 28:19.20). Misi Gereja tidak ditujukan kepada satu wilayah geografis saja tetapi masuk ke lubuk hati yang paling tersembunyi dari orang-orang zaman kita untuk menarik mereka kembali kepada perjumpaan dengan Yesus, Dia yang Hidup, yang membuat diri-Nya hadir dalam komunitas-komunitas kita. Kehadiran itu menggembirakan hati kita. Sambil bersyukur atas anugerah yang kita terima dari Dia pada hari-hari ini, kami menyampaikan kepada-Nya madah pujian:”Jiwaku memuliakan Tuhan […] karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku” (Luk 1:46.49). Kita jadikan kata-kata Maria ini sebagai kata-kata kita sendiri: sesungguhnya Tuhan telah melakukan hal-hal besar bagi Gereja-nya sepanjang masa di berbagai tempat di dunia ini; dan kita mengagungkan Dia, dengan keyakinan bahwa Ia pasti akan memandang kemiskinan kita untuk memperlihatkan kekuatan lengan-Nya pada hari-hari kita dan menopang kita pada jalan evangelisasi baru. Figur Maria menuntun kita pada jalan yang harus kita jalani. Jalan kita, kata Sri Paus Benediktus XVI, dapat menyerupai jalan sepanjang padang gurun; kita tahu bahwa kita harus menempuhnya, dengan mambawa serta apa yang paling perlu: karunia Roh, penyertaan Yesus, kebenaran sabda-Nya, roti Ekaristi sebagai makanan kita, persahabatan dalam persektuan gerejawi, dorongan kasih. Air dari sumurlah yang membaut padang gurun bersemi. Sebagaimana bintang-bintang lebih cerah bersinar di malam hari di padang gurun, demikian juga terang Maria, Bintang evangelisasi baru, lebih cerah memancarkan sinardari langit pada jalan ziarah kita. Kepada dia kita menyerahkan diri kita dengan penuh kepercayaan. CATATAN KAKI: Yohanes Paulus II, Discourse to the XIX Assembly of CELAM, Port-au-Prince, 9 March 1983, n.3. [↩] Benediktus XVI, Homili dalam Ekaristi untuk pembukaan Sidang Umum Biasa ke XIII Sinode Uskup-Uskup, Roma, 7 Oktober 2012. [↩] Tertulianus, Apology, 39,7. [↩] Benediktus XIV, Renungan dalam ibadat pembukaan Sidang Sinode Uskup-Uskup, Roma, 8 Oktober 2012. [↩] Homili dalam Perayaan Ekaristi Pembukaan Tahun Iman, Roma 11 Oktober 2012. [↩] Ditulis oleh: Gereja Katolik Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik

KATEKESE & KEBIJAKAN PUBLIK

Katekese Umat dan Perjuangan Aspirasi Kebijakan Publik Perkembangan orientasi berpikir di dalam ranah kebijakan publik akhir-akhir ini menjadi sorotan yang cukup serius bagi lembaga-lembaga yang bergerak di sektor swadaya masyarakat. Hal itu dipacu oleh adanya konsepsi strategis otonomi daerah yang akan menjadi tantangan ataupun kesempatan bagi masyarakat dewasa ini. Gejala ini pastilah merambah kepada seluruh aspek kehidupan di masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat dihadapkan pada berbagai tantangan apakah konsepsi sebuah kebijakan sungguh sudah memenuhi aspirasi masyarakat atau malah menguntungkan kepentingan tertentu. Masyarakat saat ini disadarkan betapa penguatan basis aspirasi menjadi komponen penting sebuah demokratisasi untuk kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Masalah ini bukanlah masalah satu golongan saja, tetapi masalah komponen masyarakat yang peka untuk sampai kepada masyarakat yang demokratis. Untuk itu tepatlah alasan Gereja secara khusus gereja lokal tak dapat tutup mata pada permasalahan ini. Gereja hendaknya terbuka melihat kembali permasalahan yang menyangkut kehidupan sosio politis masyarakat. Ruang kultis gereja haruslah merasuk di dalam perjuangan untuk sampai kepada pemberdayaan masyarakat. Ruang kultis haruslah menjadi daya kekuatan untuk gereja bergerak melebur di dalam keprihatinan sosio politis masyarakat dewasa ini. Ruang pertemuan umat haruslah peka menanggapi permasalahan sosial di sekitarnya. Ruang pertemuan umat bukan sekedar ruang kultis tetapi ruang yang menyatukan keprihatinan masyarakat dengan Visi gerakan Kerajaan Allah dan berbagai permasalahan akan kekuasaan, ketertidasan, kemiskinan dan kemarginalan. Ruang pertemuan umat menjadi ruang inspirasi bersama dengan berbagai lintas agama untuk berjuang bergerak membawa kepada masyarakat yang demokratis. Katekese Umat menjadi suatu ruang dimana refleksi iman sungguh disatukan dengan pengalaman sosio politis apa yang dihadapi umat di dalam masyarakat. Melalui Katekese Umat, apa yang kultis semakin direfleksikan untuk menjadi bagian dari actus yang harus diperjuangkan bersama. Perjuangan tidaklah semata-mata politis, melainkan ada aspek visi pada sebuah nilai dan pusat keluhuran budi manusia yang telah di-internalisasi kedalam spiritualitas ruang kultis umat. Perjuangan akan semakin menampakan visinya di dalam kancah sosio politis, bahwa tidak sekedar menjadi gerakan biasa melainkan menjadi gerakan yang utuh merambah kesatuan aspek etis-spiritualitas, sehingga pilihan politispun sungguh berpusat pada nilai kemanusiaan. A. Meretas Kembali Pengalaman Iman Umat dengan Ruang Kebijakan Publik Katekese Umat menekankan ruang dialogal antara pengalaman aktual dan visi Gereja untuk menjadi sebuah kekayaan hermeneutik bagi umat. Kekayaan tersebut menjadi kekayaan iman umat yang saling dikomunikasikan bersama. Dalam upaya Komunikasi Iman umat ini terjadilah berbagai proses yaitu antara apa yang disebut dialog, kisah dan visi. Dialog [ Pemikiran tentang pengalaman, subyek yang berefleksi, dialog dan kisah atau visi diadaptasi dan disadur dari gagasan Heryantno. W.W., SJ. (2001). Makalah Lokakarya Nasional PAK, di Syantikaran tentang SCP, pemikiran dari Thomas Groome]dipahami sebagai jalan, cara berada dan bertindak sehingga menjadi habi­tus. Dialog dimulai dari diri yang beraksi, berkontemplasi dan berefleksi, kemu­dian bergerak keluar sehingga terjadilah perjumpaan antar subyek yang saling siap mendengarkan dengan hati. Perjumpaan itulah yang akan membentuk komunitas atau paguyuban. Dialog di dalam proses ini dipahami sebagai proses penegasan bersama (communal discerment). Dengan itu hasilnya dipahami sebagai milik bersama (common vision dan mission). Ada empat atau lima arah subyek dialog, subyek dengan subyek lain, subyek dengan “teks” (apresiasi) dalam hal ini dapat terkait dengan isu kebijakan publik untuk sampai Kon-teks dan bagaimana Visi Gereja atas pemaknaannya, subyek dengan pendamping, subyek dengan suasana, dan dengan Tuhan sendiri sebagai pusat hidupnya. Syarat dialog yang ditekankan adalah cintakasih, kerendahan hati, kepercayaan, pemikiran yang kritis, dan pengharapan yang realistis akan masa depan yang lebih baik. Kisah (story) dan visi, Di sini bukan merupakan kisah biasa tetapi kisah hidup subyek yang dengan sepe­nuh hati menghayati pengalaman hidup di dalam realitas hidupnya menurut kebudayaan dan cara berpikirnya. Di dalam konteks sosio politis, dapat dimengertinya sebagai seba­gai citra pilihan politis. Citra pilihan politis tidak sama dengan sebuah kajian politik praktis. Citra pilihan politis juga bukan merupakan kumpulan dan catatan-catatan kepribadian yang bias dan sarat dengan kepentingan politis praktis tertentu, Citra pilihan politis lebih merupakan reservoir atau storehouse dari pengalaman kolektif subyek beserta interpretasinya dalam bingkai sosial, politik dan budaya. Fungsinya mengusahakan kesinambungan (kontinuitas) dan sekaligus mendorong ke arah perkembangan. Citra pilihan politis juga berpengaruh di dalam memberi makna, menjadi sum­ber inspirasi. Citra pilihan politis terinterpretasikan dan diwujudnyatakan secara baru menurut keadaan konkret (reshaped dan remade). Citra pilihan politis memang selalu mengundang kita untuk maksud tersebut. Kemudian, yang dimaksud visi di sini adalah kerinduan semua umat manusia untuk mengalami kepenuhan dan kesempurnaan hidup sesuai dengan keluhuran budaya dan kehidupan umat manusia. Maka visi yang utama adalah kesejah­teraan hidup semua makhluk atau terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran budi di tengah-tengah hidup manusia. Dalam katekese umat Visi Gereja yang terpusat dari Injil dan magisterium gereja dan tradisi menjadi pusat nilai yang dihermeneutikan dengan pengalaman dan isu kebijakan publik. Di dalam kajian ini, refleksi kekayaan pengalaman subyek dalam bingkai sosio politis dan visinya berperan sebagai mitra berdialog dan sumber inspirasi. Arahnya bukan hanya supaya diketahui tetapi agar meresapi dan membentuk cara hidup subyek. Dengan re­fleksi dan dialog, subyek mengkomunikasikan kisah hidup dan visinya dengan kisah hidupnya sepanjang sejarah dan visinya sehingga terjadilah proses interpretasi yang bersifat dialektis. Melalui interpretasi yang dialektis diharapkan terjadi peneguhan, pembaruan dan transformasi hidup subyek. Transformasi hidup dan pembaharuan integral yang terus menerus dari semua subyek menjadi muara dari proses ini [ diadaptasi dan disadur dari gagasan Heryantno. W.W., SJ. (2001). Makalah Lokakarya Nasional PAK, di Syantikaran tentang SCP, pemikiran dari Thomas Groome]. Proses dialog dalam Komunikasi Iman dan bingkai sosio politis masyarakat yang terwujud di dalam citra pilihan politis haruslah dihadapkan pada sebuah permasalaham bersama mengenai kebijakan publik yang dihadapi masyarakat. Kebijakan publik dalam hal ini terkait dengan gerakan masyarakat sipil (civil society). Diharapkan dari hal itu dimunculkannya gerakan untuk mendorong perubahan sosial melalui pemberdayaan politik (community empowering), penguatan arus bawah peningkatan pendapatan ekonomi, dll. Gerakan masyarakat sipil itu intinya adalah organisasi masyarakat yang independen (mandiri) dan tidak menjadi bagian dari institusi formal dan state apparatus sebagai perwujudannya. Salah satunya adalah kategori elementer masyarakat sipil yaitu; popular organization (organisasi massa/rakyat) atau organisasi akar rumput yakni yang berbasis pada ruang tertentu (sparsial-misalnya RT, RW atau desa). Proses dialog menjadi bagian dari proses penyadaran, bagaimana pengalaman iman terintegrasi dengan upaya pemberdayaan masyarakat sipil. Hal itu didasari bahwa Umat di tingkat basis lingkungan menjadi bagian dari perjuangan masyarakat sipil. Umat di tingkat basis lingkungan merupakan umat Gereja lokal yang langsung bersentuhan dengan berbagai permasalahan yang menyangkut kebijakan publik ini. Kebijakan publik [ Pemikiran ini dikembangkan dari makalah Jumalnsyah, petikan pengalaman lembaga (Konsepsi NTB) bersama masyarakat di dua kabupaten, Sumbawa dan Lombok Timur terlibat dalam proses legislasi daerah.. www. google.com dan berbagai simpul-simpul yang ditemukan di dalam aktivitas adokasi kebijakan publik PATTIRO Semarang.]saat ini menjadi begitu penting, hal itu dilatar belakangi mengenai situasi dewasa ini. Perjalanan bangsa kita akhir-akhir ini dipicu dengan semangat gerakan reformasi, maka di daerah ditandai pula adanya usaha desentralisasi (konsep otonomi daerah). Kuatnya birokrasi produk lama, ditambah dengan rnunculnya anggota legislatif yang berperilaku sebagai “eksekutif baru” menambah daftar praktek KKN dengan berbagai modusnya. Perencanaan pembangunan yang masih top down, dimana terjadi pergeseran pusat perencanaan dari Jakarta ke ibukota kabupaten dengan minimnya pelibatan (partisipasi) pihak lain di luar birokrasi dan legislatif. Keputusan-keputusan yang dilahirkan dari gedung DPRD ternyata tidak selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, banyak kasus yang menunjukkan hal tersebut. Kurangnya APBD yang memprioritaskan kepada kepentingan masyarakat umum, banyaknya PERDA yang belum begitu menampung aspirasi masyarakat bahkan banyak yang marugikan. Saat ini di daerah-daerah baru berlomba untuk membuat berbagai Raperda sebagai proses di dalam berpemerintahan, dan hal ini hanya sebatas performa saja. Proses legislasinya pun (kebijakan daerah) belum mengalami perubahan yang berarfi sekalipun rezimnya telah berubah. Pengambilan keputusan publik daerah pun (perda) merupakan praktek elitis bahkan berbau “konspiratorial” antara eksekutif— legislatif. Ada indikasi jika perdanya tematik, maka ada keterlibatan invenstor (pasar) dibaliknya, lagi-lagi masyarakat menjadi korban, menjadi subyek-subyek yang tak berdaya akibat relasi kekuasaan yang timpang di daerah. Fakta-fakta ini menunjukkan masih adanya proses monopoli oleh pembuat kebijakan atas masa depan jutaan masyarakat daerah. Kran keterbukaan daerah masih diselimuti kabut tebal warisan masa lalu, serta minimalnya proses membangun konsensus, yang ada hanyalah saling menegasikan (vis a vis) antara sektor pembuat kebijakan yang sedang menguasai pentas pemerintahan bersama sejumlah kewenangan dengan asosiasi masyarakat pada umumnya.Maka pentingnya gereja lokal sebagai salah satu bagian di dalam komunitas civilis di daerah menjadi pelaku proaktif melakukan counter kritis atas berbagai kebijakan publik yang masih sarat dengan dominasi dan kekuasaan dewasa ini. Katekese umat menjadi sangat strategis di dalam langkah gereja lokal memberikan pemberdayaan dan penyadaran aspirasi atas kebijakan publik. Katekese umat menemukan salah satu bentuknya untuk menjadikan ruang komunikasi iman yang dialogis pada permasalahan sosio politis umat. B. Meretas Kembali Langkah-Langkah Katekese Umat dan Isu Kebijakan Publik Dalam Membentuk Basis Gerakan. Di dalam Katekese Umat ada pokok-pokok penting yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dan harus ada, yaitu Pengalaman Faktual umat-Visi Tradisi Kristiani-Upaya hermeneutik (kekayaan iman umat) dan langkah pembaharuan. Langkah katekese mengenai pengungkapan pengalaman faktual umat dapat menjadi titik tolak mendasar bagaimana isu-isu kebijakan publik mendapatkan maknanya yang bararti. Persoalan isu kebijakan publik jika diangkat sebagai pengalaman kateketis tidaklah sebatas persoalan faktual politis belaka, melainkan menjadi pengalaman gerakan spiritual dimana ruang perjuangan akan keterpinggiran dan ketertindasan menjadi ruang perjuangan yang berdimensi religius. Pengalaman faktual yang diangkat memunculkan sebuah refleksi hermeneutik teologi politik kritis[ lih. Amatus Woy, SVD. (2004). Peranan Sosial Politik Komunitas Umat Basis, makalah dalam PKKI VIII, hal 11-14], dimana ada hubungan antara iman dan problematika sosial politik kemasyarakatan. Hubungan tersebut bukanlah hubungan yang terpisah, melainkan hubungan yang saling berpadu untuk menguatkan dan memaknainya. Keterpaduannya dan pemaknaan bukanlah sekedar persamaaan, melainkan adanya ruang korelasi yang memadukannya, yaitu ruang perjuangan akan ketertindasan. Kosakata kekuasaan tidak hanya dikenal dalam demensi sosio politis semata, melainkan menjadi bagian dari refleksi teologis, bahwa kekuasaan Allah telah direduksi oleh kekuasaan yang menyebabkan daya antagonisme yaitu pihak-pihak penguasa. Maka pemikiran ini dapat membentuk sebuah paradigma, bahwa pengalaman iman akan memperoleh pemurniaanya di dalam menetukan pilihan politis sebuah gerakan perjuangan untuk perubahan kepada civil society ini. Ruang teologi akan menuturkan fungsi pemurniaanya, bahwa iman bukanlah sekedar pelarian atas realitas kekuasaan. Pelarian untuk selalu mengkambing hitamkan kekuasaan Allah sebagai satu-satunya solusi atas kurban ketertindasan. Refleksi teologis semakin nyata untuk menjadi memberi makna atas sebuah perjuangan dan tindakan, sehingga seseorang sungguh mempertimbangkan demensi nilai etis dan nilai religius di dalam menetukan pilihan politisnya. Maka demensi kateketis haruslah mempertimbangkan teologi keterlibatan kritis sebagai bagian refleksi dan kemudian memberikan hermeneutik bagaimana sebuah visi kristiani berperan dalam menetukan pilihan politis ini. Sehingga demensi kateketis sungguh terasa bersifat transformatif dan revolutif untuk meningkatkan militansi gerakan kristiani di dalam keterlibatan sosio politis. Untuk itu bagaimana mencangkokan pendekatan kateketis dengan pendekatan-pendekatan yang sering digunakan dalam aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat perlu dikaji lebih dalam. Penggalian pengalaman faktual perlulah dikaji dengan berbagai pendekatan partisipatif masyarakat, dan sungguh-sungguh mampu menggulirkan isu mengenai kebijakan publik yang tak adil dan tak aspiratif di tingkat basis baik di wilayah teritorial atau kategorial di lingkup gereja lokal (Paroki). 1. Merajut pengalaman kritis faktual atas kebijakan publik dalam katekese Dalam pengalaman terangkum minat, pertanyaan-pertanyaan, harapan-harapan, kecemasan-kecemasan, perenungan dan penilaian-penilaian. Begitupun pengalaman menyikapi sebuah kebijakan publik. Sebuah pertanyaan, harapan, penilaian serta perenungan atas kebijakan publik menjadi daya kristis untuk semakin mempertajam sejauh mana kebijakan publik sungguh berguna bagi kepentingan umum. Menjadi tugas bagi katekese untuk membuat kelompok atau seseorang sadar akan pengalamannya. Begitu juga peran katekese untuk mengajak umat sadar akan pengalamannya menyikapi suatu kebijakan publik yang dihadapinya. Kesadaran ini dalam katekese mendapatkan titik terang melalui Cahaya Injil untuk menggali kembali pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan kebijakan publik yang dihadapinya. Maka katekese dapat menjadi salah satu ruang dimungkinkannya data gathering mengenai berbagai permasalahan-permasalahan yang terkait dengan implementasi kebijakan publik yang langsung bersentuhan dengan umat di tingkat basis. Data gathering dari pengalaman merupakan akumulasi harapan, kecemasan, penilaian atas kebijakan publik yang dapat menjadi sebuah muara dari kontekstualitas hidup umat berhadapan dengan kekuasaan dan tata politik yang dihidupinya. Data gathering ini menjadi info penting seberapa jauh aspirasi kebijakan publik sungguh berdampak bagi kehidupan masyarakat. Pengalaman-pengalaman umat di dalam konteks kebijakan publik ini haruslah menjadi bagian dalam kerangka iman. Hal itu mendasar agar pengalaman tersebut dalam suatu cara trtentu dapat menjadi representasi locus bagi karya keselamatan Allah yang nyata di dalam konteks hidup sosio-politis umat di tingkat basis. 2. Refleksi kristis atas pengalaman kebijakan publik dalam katekese Sudah menjadi tugas bagi para katekis untuk membantu umat dalam proses katekese di dalam menafsirkan dan menerangi pengalaman dengan iman. Maka pengalaman tersebut haruslah dilihat dalam analisa tertentu agar sampai kepada visi yang diharapkan. Dalam kerangka kebijakan publik analisa yang dapat dimungkinkan adalah mencoba mengajak umat mengkritisi data gathering dari berbagi pengalaman dalam prinsip inequality (konflik kelas, konflik antara penindas dan tertindas, struktur dominasi dan kekuasaan). Maka perlulah dalam arti ini pentingnya sebuah prinsip-prinsip analisa sosial sederhana terhadap suatu kebijakan publik. Prinsip-prinsip suatu analisa sosial sederhana dapat meliputi prinsip-prinsip mengenai kekuasaan dan keadilan sosial [ dikembangkan dari Makalah Kursus Ansos dari A. Suryawasita, SJ.]. Prinsip-prinsip tersebut yaitu ; semua anggota di dalam masyarakat mau mengejar tujuan yang kurang lebih sama. Tujuan hidup tersebut antara lain : kelangsungan hidup yang layak, rasa aman, prestice atau pengakuan diri dalam kehidupan sosial dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut , setiap anggota masyarakat berusaha menguasai sarana-sarana yang dapat memudahkan mereka mencapai tujuan tersebut. Yaitu antara lain : uang, pendidikan, lapangan kerja dan berbagai saluran-saluran sosial yang lainnya. Pada hakikatnya untuk mencapai tujuan tersebut, setiap anggota masyarakat membutuhkan anggota atau interaksi atau relasi yang lainnya, tetapi sekaligus anggota yang lain dialami sebagai pesaing. Atas dasar keyataan tersebut, agar dapat dihindari adanya persaingan yang kasar dan sebaliknya dibuat suatu persaingan yang sehat, aman, maka dibuatlah suatu aturan permainan (kebijakan publik), untuk dapat mengorganisasi dan mengatur interaksi tersebut. Pengaturan ini dibutuhkan apa yang disebut kekuasaan. Kekuasaan sendiri dapat dimengerti sebagai suatu kemungkinan yang dimiliki seseorang atau kelompok untuk melaksanakan kehendaknya, meskipun dilawan atau ditentang oleh orang lain atau kelompok lain. Pengaturan dan koordinasi seluruh kegiatan warga masyarakat tersebut menentukan dengan sendirinya sebuah sistem pembagian hasil-hasil produksi dari kegiatan masyarakat tersebut. Maka berbicara tentang keadilan sosial, berbicara pula mengenai kekuasaan. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa distribusi segala produksi masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masalah kekuasaan. Hal itu didasarkan pada kenyataan, bahwa suatu kekuasaan dapat menentukan suatu aturan permainan, dalam hal ini suatu aturan permainan yang telah diciptakan akan mengatur seberapa banyak distibusi hasil produksi atau pembagian hasil di dalam masyarakat. Linkaran keterkaitan ini, akan menciptakan sebuah nilai-nilai yang akan berkembang dan berlaku di dalam masyarakat. Maka fungsi katekis haruslah mengajak umat untuk senantiasa kritis terhadap segala kebijakan publik yang ada. Umat diajak untuk sadar bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat yang selalu sadar akan fungsi kontrolnya terhadap setiap kebijakan publik yang muncul. Begitupun ketika umat dewasa ini dihadapkan pada isu-isu mengenai RAPBD (Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah) perlulah aspek-aspek apa yang patut diupayakan dalam sebuah RAPBD itu.Refleksi kritis atas apa yang dilakukan terhadap berbagai sharing keprihatinan dan penilaian terhadap kebijakan publik ini haruslah didasarkan pada muara pesan injil untuk mencoba merefleksi lebih dalam bagaimana terang imani menjawab keterlibatan sosio-politis ini. Sehingga apa yang menjadi analisa dan refleksi atas pengalaman dapat dibingkai dalam terang iman dan hidup menggereja umat. 3. Visi Kristiani dalam kerangka kritik Kebijakan Publik Gereja menghadirkan keselamatan di dunia haruslah nyata. Keselamatan kristiani selalu berhubungan dengan kesejahteraan manusiawi. Maka betapa iman haruslah menampakan aspek representasi nyatanya di dalam perbuatan. Iman merupakan satu kesatuan utuh di dalam keterlibatan aktif. Gerakan Yesus pun memperlihatkan betapa Yesus memberikan tempat primat atau prioritas perbuatan iman ketimbang pengakuan iman secara verbal dan seremonial[ lih. Amatus Woy, SVD. (2004). Komunitas Umat Basis dan Keterlibatan dalam bidang Sosial Politik, makalah dalam PKKI VIII, hal 4-5. ]. Gereja pasca Konsili Vatikan II semakin menanpakkan dan melebarkan ruangya kepada keterlibatan secara penuh di dalam setiap keprihatinan dunia. Pewartaan injil harus menjadi bagian dari pembangunan masyarakat baru. Gereja harus mewartakan injil di tengah-tengah masyarakat. Keterlibatan untuk mewartakan injil di tengah-tengah masyarakat inilah yang memperlihatkan arti Gereja yang sebenarnya. Untuk itu penegakan keadilan bukan hanya satu kerasulan, melainkan harus menjadi penggerak seluruh hidup Gereja dan menjadi demensi baru di dalam tugas kerasulannya[ Jacob, Tom. (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta. Kanisius, hal 37-38.]. Gereja ketika berhadapan dengan kebijakan publik ditantang untuk dapat mengajak umat sebagai warga masyarakat melihat lebih dalam sejauh mana sebuah kebijakan publik mempunyai kecenderungan menyudutkan aspirasi masyakarat. Dalam Gaudium et Spes[ Sebenarnya keterlibatan sosial Gereja juga dirumuskan dalam Rerum Nonavarum, Pacem In Terris, Mater et Magistra, Sollicitudo Rei Socialis, Cantesimus Annus.], Gereja merumuskan dan merefleksikan kembali keterlibatan penuh karya keselamatan di dalam perjuangan terhadap mengatasi ketidakadilan. Penataan masyarakat politik atau negara, struktur-struktur serta kekuasaan-keuasaan harus menunjang pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai dan berbuah hati terhadap semua orang, sehingga menguntungkan segenap keluarga manusia[ lih. GS 74]. Seluruh kebijakan politik yang menyangkut harkat hidup orang banyak mempunyai implikasi kekuasaan harus didasarkan kepada makin meluasnya keyakinan, bahwa umat manusia dapat dan harus menyusun tata politik, ekonomi dan sosial yang semakin mengabdi kepada manusia. Tata masyarakat dan kemajuan harus selalu menguntungkan orang-orang dan dikembangkan berdasarkan kebenaran dan keadilan, dihidupkan oleh cinta kasih, dan menemukan di dalam kebebasan keseimbangan yang makin manusiawi. Hal ini sungguh memerlukan dan membutuhkan perubahan mentalitas serta perombakan-perombakan sistem sosial[ lih dan bdk GS 26]. Perjuangan untuk mengatasi ketidak adilan sosial yang saat ini baru menggejala di setiap ranah implementasi kebijakan publik harus menjadi refleksi Gereja dalam keterlibatannya. Maka patut selalu diusahakan perjuangan untuk membuat kondisi-kondisi hidup yang lebih adil dan lebih manusiawi[ lih. GS 29, 30, 34, 38, 57.]. Hal ini harus menjadi bagian mendasar di dalam gerakan Yesus untuk memperjuangkan Kerajaan Allah. Dimana terjadinya situasi keadilan, cinta kasih dan damai yang tidak sekedar ditafsirkan di dalam bingkai kultis semata, melainkan sampai kepada gerakan nyata. Perjuangan Yesus melalui sabda dan teladanNya memperlihatkan solidaritas dan keprihatinanNya dengan kaum tersingkir dan kritis terhadap situasi ketidakadilan yang terjadi[ lih Mrk 7: 1-10, Luk 19:1-10, Luk 7: 36-50, Mat 15: 21-28, Yoh 8: 1-11, Mrk 3:1-5, Luk 4: 18, Mrk 7: 6-7, Mrk 6: 1-18, Mrk 2: 23-27 dll. ]. Begitupun gerakan profetik kenabian yang telah mencerminkan gerakan-gerakan untuk membela dari upaya ketidakadilan[ Misalnya Amos]. Dalam kaitannya dengan refleksi kebijakan publik, prinsip-prinsip sosial yang senantiasa mendasar adalah, pertama, bahwa kesejahteraan itu untuk kepentingan umum (bonum commune) tanpa meniadakan hak pribadi sebagai manusia. Kesejahteraan pribadi memberi sumbangan bagi kesejahteraan umum. Kedua, adalah solidaritas, dimana setiap orang saling memperhatikan dengan penuh tanggung jawab, saling menghargai dalam hidup tatanan sosialnya. Ketiga, adalah subsidiaritas, yaitu pembagian tanggung jawab sesuai dengan hak dan kewajibannya dalam prinsip-prinsip keadilan.[ lih, P. Go, O. Carm. (1984). Ajaran Sosial Gereja. Malang: Kerawam Keuskupan Malang, hal 16-18. ] 4. Hermeneutik antara Visi Kristiani dengan refleksi kritis atas kebijakan publik di dalam katekese. Perantaraan iman membutuhkan jembatan antara situasi tradisi iman yang lampau dengan keberadaan Kristianitas dalam situasi yang baru saat ini. Hal ini membutuhkan dialektika antara apa yang menjadi Visi dengan kenyataan faktual yang dihadapi. Terkait dengan kebijakan publik, akumulasi pengalaman, penilaian dan refleksi bagaimana sebuah kebijakan publik berdampak pada ruang hidup masyarakat dicoba untuk diteguhkan dan dikonfrontasi dalam bingkai visi. Hermeneutik yang cukup representatif terkait dengan daya kritis kebijakan publik adalah hermeneutik yang bersifat identifikasi antara pengalaman manusiawi dengan pengalaman religius. Bingkai hermeneutik ini mencoba untuk menemukan nilai bahwa di dalam kodrat dan pengalaman manusiawi ditemukan petunjuk-petunjuk ke arah adikodrati (analogia etis)[ Gerben Heitink. (1999) Teologi Praktis. Terjemahan oleh Ferd. Heselaars H, SJ. Yogyakarta: Kanisius, hal 145-146]. Maka dalam kerangka bingkai hermeneutik identifikasi ini, pengalaman-pengalaman faktual berhadapan dengan ketidakadilan atas berbagai kebijakan publik menjadi pengalaman upaya bagaimana Gereja harus berbuat untuk mengupayakan perjuangan keadilan sebagai sebuah pengalaman pembebasan dan warta sejati mengenai Kerajaan Allah di kancah hidup masyarakat saat ini. Pengalaman, harapan, penilaian, kekritisan akan kebijakan publik yang muncul serta direfleksikan dalam bingkai analisa sosial diidentifikasikan dengan sebuah visi mengenai tradisi suci yang kaya akan nilai-nilai pembebasan dari Allah. Tradisi suci-Kitab Suci mengenai kisah Yesus memberikan inspirasi, motivasi yang mendalam mengenai sebuah perjuangan sosio politis sebuah komunitas kritis yang saat ini berkarya. Komunitas itu adalah umat yang bersama dengan katekis untuk mencoba menggali berbagai aspirasi kritis persoalan kebijakan publik. 5. Langkah Pembaharuan sebagai upaya membangun Basis Gerakan kritis terhadap kebijakan publik[ dikembangkan dari berbagai pengalaman gerakan dan aliansi, dan disrikan dari Mansour Fakih, dkk. (2002). Mengubah Kebijakan Publik .Yogyakarta: Pustaka Pelajar.] Langkah aksi pembaharuan merupakan muara yang utama dari proses katekese. Proses ini bukanlah proses akhir, melainkan menjadi proses awal yang terus menerus menemukan spiral gerakan yang tak berkesudahan. Dalam proses ini apa yang menjadi lingkaran inti, upaya data gathering, refleksi kritis dan analisa serta visi yang menjiwai haruslah dicapai dalam sebuah bingkai gerakan. Maka dalam hal ini perlulah katekis sebagai fasilitator umat berusaha mengajak sampai kepada proses penemuan sebuah isu strategis. Setelah isu strategis dicapai perlulah sebuah perencanaan strategi untuk menggalang sekutu dan upaya perencanaan program yang menyangkut berbagai aspek kritis terhadap kebijakan publik. Ruang katekese menjadi ruang yang paling strategis untuk membetuk sebuah grounded work yang bersifat menepatkan sebuah pendidikan kewarganegaraan dalam bingkai spiritualitas. Maka dalam basis gerakan ini ada berbagai bentuk usaha untuk memobilisasi dan sosialisasi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat (the Community Empowerment Approach) dapat menjadi bagian dari upaya ini. Tahapnya dapat sebagai berikut ; Sosialisasi internal– Meskipun cukup banyak umat yang telah terlibat dalam proses perancangan aksi , namun harus tetap dipastikan bahwa semua pihak terkait potensial mengetahui aksi dan gerakan ini dan bisa berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan, pengambilan keputusan dan pengkajian perkembangan. Hal ini bisa dilakukan dengan kunjungan pribadi ke pihak terkait penting, pertemuan dengan kelompok kecil, atau melalui rapat sosialisasi besar-besaran atau lokakarya dengan jumlah yang cukup banyak. Meningkatkan pemahaman - Jika umat sudah tahu tentang aksi dan gerakan ini, maka perlu diadakan pertemuan -pertemuan untuk membangun persepsi bersama dalam mengkomunikasikan tujuan, dan apa yang harus dilaksanakan. Ketekese berkala dapat menjadi bagian dari upaya ini agar didapat pemahaman yang reflektif dan integral dengan visi kristianitas. Menyusun Tim Pelaksana – setelah adanya upaya pemahaman yang lebih mendasar mengenai kebijakan publik yang dikritisi meliptui content (isi), Strukture (tata laksana) dan culture (budaya) sebuah PERDA atau sebuak kebijakan tertentu, perlulah dibuat tim khusus yang akan melaksanakan kerja-kerja basis secara efektif. Mengadakan Pelatihan dan lokakarya-lokakarya [ lokakarya dapat mempergunakan metode TOP (Tehnology Of Partisipation), lihat lampiran 3]- Jika gerakan membutuhkan pengertian-pengertian khusus yang mendalam, maka bisa dilakukan lokakarya-lokakarya kepada umat yang secara sukarela mau menjadi tim khusus kerja basis. Penggalangan sekutu (aliansi) dan penggalangan garis depan (front lines). Setelah berbagai tahap diatas dilakukan perlulah usaha untuk menggalang sekutu dengan berbagai lintas stage holders, LSM, dan berbagai masyarakat umum di seputar wilayah paroki untuk meningkatkan fungsi mobilisasi dan kekuatan counter dan pressure. Disamping menggalang sekutu, pentingnya mempunyai basis gerakan garis depan (front lines), gerakan ini berguna untuk melaksanakan kerja-kerja juru bicara, perundingan, pelobby, terlibat dalam proses legislasi dan juridiksi. Maka kerja garis depan merupakan kerja bersama dengan berbagai anggota dewan yang mau diajak untuk kerja sama dalam hal kerja ini. Ajukan konsep tanding dan pembelaan. Kerja ini dilaksanakan setelah berbagai hal dapat terpenuhi, yaitu sudah adanya konsep pengkritisan yang jelas persoalan kebijakan publik dan sudah mendapatkan berbagai bentuk-bentuk aliansi. Usaha untuk mengajukan konsep tanding dapat berupa legal drafting, counter drafting ataupun judicial review. Upaya untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Kerja ini merupakan kerangka kerja dari tim gerakan garis depan yang akan melaksanakan usaha untuk lobbi, negosiasi, mediasi dan kolaborasi untuk mempengaruhi pembuat kebijakan di tingkat DPRD. Upaya untuk mempengaruhi pendapat umum. Kerja ini dibuat untuk tujuan semakin memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Hal ini dapat dilaksanakan dengan kampanye, siaran melalui pernyataan, jajak pendapat, selebaran. Melancarkan tekanan. Kerja ini merupakan kerja paling akhir jika tidak ada upaya konsolidasi dan perubahan atas kebijakan yang berarti. Upaya ini biasanya melalui upaya unjuk rasa. Kepustakaan Heryantno. W.W., SJ. (2001). Makalah Lokakarya Nasional PAK, di Syantikaran tentang SCP, pemikiran dari Thomas Groome Makalah Jumalnsyah, petikan pengalaman lembaga (Konsepsi NTB) bersama masyarakat di dua kabupaten, Sumbawa dan Lombok Timur terlibat dalam proses legislasi daerah. Bberbagai simpul-simpul yang ditemukan di dalam aktivitas adokasi kebijakan publik PATTIRO Semarang. Makalah Kursus Ansos dari A. Suryawasita, SJ Dokumen Konsili Vatikan II. Amatus Woy, SVD. (2004). Peranan Sosial Politik Komunitas Umat Basis, makalah dalam PKKI VIII. Amatus Woy, SVD. (2004). Komunitas Umat Basis dan Keterlibatan dalam bidang Sosial Politik, makalah dalam PKKI VIII. Jacob, Tom. (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta. Kanisius. P. Go, O. Carm. (1984). Ajaran Sosial Gereja. Malang: Kerawam Keuskupan Malang Gerben Heitink. (1999) Teologi Praktis. Terjemahan oleh Ferd. Heselaars H, SJ. Yogyakarta: Kanisius Mansour Fakih, dkk. (2002). Mengubah Kebijakan Publik .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ilham Cendekia (2002), Tehnologi Partisipasi. Jakarta : Pattiro. disarikan dari pengalaman penulis terlibat di dalam gerakan advokasi kebijakan publik di kota Semarang. oleh: Purwono Nugroho Adhi Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang

Menyiapkan dan Memotivasi Pengurus Lingkungan

Oleh: Romo F.X. Didik Bagiyowinadi, Pr Salah satu kekhasan Gereja Katolik Indonesia adalah adanya sistem lingkungan/ kring/stasi dalam pelayanan pastoral parokial-teritorial yang memungkinkan semakin banyak kaum beriman awam terlibat dalam pengembangan Gereja seperti yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II (lih. AA 10, AA 24, AG 21). Dan yang menarik, cikal-bakal lingkungan ini ternyata sudah ada jauh sebelum Konsili Vatikan II, bahkan sebelum Perang Dunia II. Pada masa itu para imam Jawa, yakni Rm. Hardjosuwondo SJ dan Rm. Sugiyopranoto,SJ, merintis sistem kring di paroki-paroki Wedi-Klaten, Ganjuran, dan Bintaran (lih. JWM Huub Boelaars, OFM Cap dalam Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius, 2005, hlm. 353). Bahkan para pamong kring ini berperan sebagai gembala bagi umat kringnya, dimana mereka dipercaya untuk memimpin ibadat-ibadat, mengajar calon baptis, juga membimbing umat yang mengalami kesulitan. Dalam perkembangan waktu, sistem “bapak pamong kring” ini kemudian berkembang menjadi sistem lingkungan yang kemudian juga dimasukkan dalam struktur dewan pastoral paroki. Dalam semangat kepemimpinan partisipatoris, “salib pelayanan” umat di lingkungan tidak lagi “dibebankan” pada pundak ketua lingkungan saja, tetapi menjadi tanggung jawab para pengurus lingkungan. Keterlibatan para pengurus lingkungan sungguh membantu dan melipatgandakan tenaga dan perhatian pastoral Pastor Paroki. Dan menarik untuk dicermati, “sekolah pelayanan dan kerjasama” para pengurus lingkungan ini sekaligus merupakan salah satu wahana dan peluang untuk mempersiapkan kader-kader pengurus Dewan pastoral paroki. Menjaring Kader Pengurus Lingkungan Namun, yang menjadi kendala di lapangan, ternyata tidaklah mudah mencari kader pengurus lingkungan. Ada kecenderungan di antara umat untuk “mengabadikan” para pengurus lingkungan. Kesulitan mencari pengurus lingkungan semakin nyata tatkala lingkungan hendak dimekarkan. Menurut saya, kesulitannya bukan lantaran tidak adanya orang yang mau dan mampu, melainkan karena belum adanya sistem yang mempersiapkan para kader pengurus lingkungan. Selama ini pembekalan dan penyegaran (ketua) pengurus lingkungan ditujukan kepada mereka yang baru atau sudah ditunjuk menjadi pengurus. Maka bila bermaksud menjaring “wajah baru” dalam kepengurusan lingkungan, terlebih demi regenerasi pelayanan umat di lingkungan, kesulitan yang sama terulang: mereka yang akan dipilih dan ditunjuk merasa belum siap lantaran pelbagai dalih dan alasan. Di lain pihak wacana dan literature pelayanan untuk para pengurus lingkungan juga belum tersedia. Selama ini yang ada baru buku panduan untuk misdinar, lektor, prodiakon, dewan paroki, dsb. Menanggapi keprihatinan pastoral ini, pada liburan musim panas 2008 lalu saya menyempatkan dan memberanikan diri menulis buku “Siap Menjadi Pengurus Lingkungan” yang saya akui sebenarnya hanyalah “tiada rotan akar pun jadi”. Saya berharap, setidaknya wacana dalam buku ini bisa menjadi titik tolak untuk mempersiapkan dan memotivasi (kader) pengurus lingkungan secara lebih serius. Maka dalam tulisan singkat ini, perkenankan saya menyampaikan beberapa hal yang saya bahas dalam buku kecil itu. Menghidupi Pancatugas Gereja dalam dan bersama Lingkungan Setelah membahas keterlibatan kaum beriman awam dalam Gereja (bab 1) dan reksa pastoral Gereja melalui Lingkungan (bab 2), saya mengajak pembaca untuk menghidupi panca tugas Gereja bersama dan dalam lingkungan (bab 3). Mengapa kita perlu mewujudkan panca tugas ini? Sebab Tuhan Yesus sendiri telah memberi perintah kepada kita, para pengikut-Nya, untuk saling mengasihi (Yoh 13:34) dan saling melayani (lih. Yoh 13:14-15). Amanat Kristus ini secara konkret dan terus-menerus perlu kita wujud-nyatakan bersama orang-orang terdekat, yakni keluarga kita dan umat lingkungan terdekat. Dengan jumlah umat paroki yang sedemikian besar, bahkan tidak jarang kita selisih jalan saat merayakan Misa hari Minggu, mewujudkan semangat kasih dan pelayanan dalam lingkup keluarga dan lingkungan terdekat adalah pilihan yang paling realistis. Memang ada sebagian umat yang merasa masih ”belum butuh lingkungan”, termasuk mereka yang sudah menjadi aktivis di aneka kelompok kategorial. Namun, menurut saya bergabung dalam persekutuan umat di lingkungan-teritorial ini patut diupayakan karena lingkungan merupakan salah satu wahana mewujudkan amanat Kristus tadi. Selain itu, persekutuan umat di lingkungan lebih menampilkan ”wajah Katolik”, dimana umat dari pelbagai latar belakang etnis, budaya, sosial-ekonomi, juga selera dan tingkat rohani, berhimpun dan bersekutu berdasarkan iman akan Kristus (dan tentu saja juga berdasarkan pembagian administrarif-teritorial paroki). Memang pelayanan rohani ”umum-teritorial” di lingkungan ini masih perlu dilengkapi dengan pelayanan aneka kelompok kategorial yang lebih menjawabi kebutuhan dan selera rohani masing-masing pribadi yang berbeda. Demikian pula, dalih betapa sibuknya anggota keluarga sampai tidak ada waktu untuk kegiatan lingkungan, bisa disiasati dengan keterlibatan ”wakil keluarga” sedemikian sehingga komunikasi antara keluarga dan umat lingkungan tidak terputus. Untuk memahami lebih baik bagaimana mewujudkan panca-tugas gereja dalam dan bersama lingkungan, pembaca diajak merenungkan cara hidup Gereja Perdana dalam Kis 2:41-47. Dari sini selanjutnya pembaca diajak menggagas lebih lanjut bagaimana secara konkret panca tugas tersebut dapat diwujudkan dalam dan bersama lingkungannya. Belajar dari ide Gereja Diaspora Romo Mangun Untuk mendiskusikan penggembalaan dan pengembangan Gereja Katolik Indonesia, kita juga mesti belajar dari wacana Gereja Diaspora yang dilontarkan oleh Romo Mangun. Maka pada bab 4, saya menyajikan poin-poin gagasan Romo Mangunwijaya yang relevan untuk pengembangan Gereja di lingkungan. Seperti diingatkan oleh Romo Mangun, kita perlu menyadari bahwa saat ini umat Katolik Indonesia dihadapkan pada situasi diaspora, maka pelayanan teritorial-tradisional perlulah dilengkapi dengan pelayanan khusus bagi umat yang terdiaspora. Karena itu, para pengurus lingkungan hendaknya juga memahami dan memaklumi, seandainya ada umat yang tidak bisa aktif dalam aneka kegiatan lingkungan lantaran “kediasporaan”-nya. Di lain pihak, para pengurus lingkungan sebagai pribadi kiranya juga perlu mempersiapkan diri menjadi “gembala diaspora” bagi sahabat-kenalan dari lain lingkungan dan paroki. Namun, Romo Mangun berkeyakinan bahwa pelayanan teritorial-tradisional (termasuk lingkungan) ini tetaplah perlu karena hal ini justru menggambarkan kesatuan umat yang beragam dan juga memang ada beberapa sektor yang tetap membutuhkan pelayanan teritorial, seperti anak-anak dan remaja, dunia sekolah, mereka yang sakit, cacat, dan jompo. Dalam buku Gereja Diaspora Romo Mangun ‘menggugat’ komitmen dan perhatian Gereja pada kaum miskin dan papa-menderita. Beliau berharap “Mudah-mudahan kejuaraan kita dalam 1001 acara doa, novena, lomba kor gereja, kolasi, rekoleksi, retret, membangun gedung-gedung gereja raksasa maupun kapel molek, dan yang terpenting, membanjiri tempat ziarah sambil berpiknik dan berekspresi kesalehan lain yang indah itu seimbang dengan karya-karya nyata yang meringankan pahit-pedih manusia lain yang menderita dalam segala bentuk. Sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Yesus dan Gereja di zaman para rasul” (Gereja Diaspora, Kanisius, hlm. 175). Maka pertanyaannya, bagaimana secara konkret hal ini bisa diwujudnyatakan dalam hidup menggereja di lingkungan. Demikian pula penekanan beliau akan pentingnya keluarga sebagai “benteng Gereja Diaspora”, hendaknya menjadi catatan dalam pengaturan aneka kegiatan lingkungan. Dan tidak kalah menariknya adalah menyimak “anjuran Romo Mangun” tentang kriteria pengurus lingkungan dan dewan paroki yang sebaiknya kita pilih dan tunjuk. Menjadikan Lingkungan Sebagai KBG Dalam SAGKI 2000, Gereja Katolik Indonesia mencanangkan Komunitas Basis Gerejani (KBG) sebagai cara baru hidup menggereja agar kehadiran Gereja sungguh memberi arti dan sumbangan bagi masyarakat sekitar (termasuk di kala masyarakat kita menderita akibat aneka bencana alam, “bencana lapindo”, kenaikan BBM, dsb). Memang masih ada perdebatan, apakah lingkungan itu sudah merupakan komunitas basis gerejawi? Daripada mempersoalkan “istilah”, akan lebih baik bila kita mengupayakan agar lingkungan/kring/stasi kita menjadi suatu komunitas basis gerejani. Maka sebagai suatu komunitas basis gerejani, kiranya pembicaraan bersama dengan diterangi Kitab Suci perlu dikembangkan agar umat lingkungan senantiasa menemukan bentuk-bentuk diakonia dan martiria yang relevan untuk situasi-kondisi setempat. Motivasi dan Spiritualitas Pengurus Lingkungan Pada bab-bab selanjutnya, saya memfokuskan perhatian pada pengurus lingkungan secara konkret, mulai dari peran dan kinerjanya, motivasi dan spiritualitas yang perlu dihidupi, sampai aneka “panduan praktis” mewujudkan pelayanan murah hati (termasuk pada umat yang jarang muncul di lingkungan). Apa yang menjadi motivasi seseorang mau dipilih dan ditunjuk menjadi pengurus lingkungan? Saya memaparkan empat motivasi menerima tanggung jawab pelayanan di lingkungan ini (tentu dengan menimba inspirasi dari Kitab Suci dan Ajaran Gereja): Merealisasikan tugas perutusan yang telah diemban sejak menerima Sakramen Krisma, khususnya tugas sebagai gembala. Sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan Yesus dan Gereja, Mempersembahkan talenta untuk “pembangunan jemaat” Ajakan untuk terus memurnikan motivasi pelayanan Sementara berkaitan dengan Spiritualitas yang patut dihidupi oleh para pengurus lingkungan, saya paparkan tiga hal: Mengemban pelayanan murah hati seperti diilustrasikan dalam cover buku (saling membasuh kaki). Semangat misioner, yakni siap sedia diutus, tidak harus pergi ke luar negeri, tetapi berani keluar dari kepentingan diri dan mulai terarah pada orang lain. Maka bagaimana secara konkret semangat 2D2K: Doa-Derma-Korban-Kesaksian, dapat diwujudnyatakan oleh para pengurus lingkungan. Makna bekerjasama sebagai satu tim, seperti halnya Kristus mengutus para murid-Nya pergi berdua-dua. Menanggapi Dalih Tidak Mau Melayani Ada banyak dalih dan alasan bisa disebut yang membuat para kader pengurus lingkungan merasa diri belum siap, seperti tidak layak dan tidak pantas, tidak mampu, tidak ada waktu, dst. Saya mencoba menanggapi aneka dalih tersebut untuk memotivasi para pengurus lingkungan. Asalkan ada kemauan, kemampuan dan ketrampilan bisa diupayakan dan ditingkatkan. Asalkan ada kemauan, akan berusaha menyempatkan waktu. Namun, untuk para “aktivis Gereja” yang sudah sibuk dengan aneka pelayanan dan tanggung jawab, sebaiknya membatasi diri menerima “jabatan” pelayanan ini agar tidak mengecewakan umat ataupun menelantarkan keluarga. Untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para pengurus lingkungan, saya berikan daftar buku yang bermanfaat untuk pelayanan umat di lingkungan. Selanjutnya, saya uraikan pula soal doa lingkungan dan bagaimana secara praktis memandu doa lingkungan dan menyusun renungan untuk ibadat syukur/permohonan di lingkungan. Dan tentunya saya bahas pula “Seputar Ketua Lingkungan” dan “Pengurus Lingkungan dan Keluarganya”. Persoalan Klasik di Lingkungan Berangkat dari pengamatan dan pengalaman mendampingi para pengurus lingkungan di paroki, saya mendapati setidaknya ada selusin persoalan klasik di lingkungan. Maka dalam buku ini saya juga mengangkat dan mendiskusikan aneka persoalan klasik itu agar bisa menjadi pembelajaran bersama bagi (kader) pengurus lingkungan, yakni: "Jemput bola" gembala proaktif kepada: warga pindahan baru, katekumen, calon penerima sakramen, yang terbaring sakit, yang kurang aktif, dan yang miskin dan berkekurangan. Pelayanan bagi yang berduka: penerimaan Sakramen Perminyakan, pelayanan bagi warga yang meninggal, dukungan bagi keluarga yang berkabung, dan pelayanan doa-misa arwah. Pemberdayaan potensi umat Transparansi keuangan lingkungan Managemen Konflik dan Perbedaan Guyon Berlebihan Managemen Gossip Alokasi Waktu dan Jam Karet Koq Sedikit yang ikut Pendalaman Iman? Melibatkan Generasi Muda Lingkungan Vs Ekumene Penyakit: Post Power Sindrom. Tiada Rotan Akar Pun Jadi Sebagaimana saya singgung di awal tulisan ini, buku Siap Menjadi Pengurus Lingkungan sungguh saya sadari dan akui sekedar ”tiada rotan akar pun jadi” mengingat keterbatasan pengalaman pastoral parokial saya dan saya tidak studi khusus bidang ini. Namun, saya menyadari akan ”bagian saya” (bdk. 1 Kor 12:18)) untuk merumuskan aneka pengalaman pendampingan para rekan pastor paroki (tentu sejauh yang saya amati dan alami) kepada para pengurus lingkungan dengan harapan buku kecil ini bisa menjadi titik tolak pembicaraan bersama untuk mempersiapkan dan memotivasi para pengurus lingkungan. Dan tentunya saya tidak berpretensi untuk menyelesaikan semua persoalan pelayanan di lingkungan, tetapi berharap bahwa lontaran ide dan wacana ini dibicarakan lebih lanjut oleh para pengurus lingkungan dan pastor paroki agar semakin relevan dan aplikatif di lapangan. Akhirnya, selamat mempersiapkan kader pengurus lingkungan demi pengembangan Gereja Katolik Indonesia di masa mendatang. Convitto San Tommaso - Roma, 27 Juni 2008 sumber : http://www.imankatolik.or.id/kl.html

Surat Apostolik dari Paus Benediktus XVI: Pintu kepada Iman

Catatan: Berikut ini adalah terjemahan tidak resmi (unofficial translation) dokumen Surat Apostolik dari Paus Benediktus XVI, yang berjudul “Pintu kepada Iman”, yang diterjemahkan oleh katolisitas.org dari dokumen aslinya dalam Bahasa Inggris, seperti yang tertulis di sini – silakan klik. Mohon agar pengutipan terjemahan ini dapat menyertakan sumbernya, yaitu: www.katolisitas.org, sehingga usulan atau masukan dapat disampaikan kepada kami. SURAT APOSTOLIK “MOTU PROPRIO DATA” PINTU KEPADA IMAN DARI USKUP AGUNG ROMA BENEDIKTUS XVI UNTUK PENCANANGAN TAHUN IMAN PINTU IMAN MENUJU KEHIDUPAN BERSATU DENGAN TUHAN 1. “Pintu kepada iman” (Kis 14:27) selalu terbuka bagi kita, menghantarkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Adalah mungkin untuk melintasi ambang pintu itu ketika Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan dirinya dibentuk oleh rahmat yang senantiasa mengubah. Untuk masuk melalui pintu itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Perjalanan itu dimulai dengan baptisan (lih. Rom 6:4), yang melaluinya kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa, dan perjalanan berakhir dengan jalan melalui kematian menuju kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang sejak dahulu berkehendak, dengan anugerah Roh Kudus, untuk menarik mereka yang percaya kepada-Nya masuk ke dalam kemuliaan-Nya sendiri (lih. Yoh 17:22). Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putera dan Roh Kudus– adalah percaya kepada Allah yang Mahaesa yang adalah Kasih (lih. 1Yoh 4:8): Bapa, yang di dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya demi keselamatan kita;Yesus Kristus, yang di dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus dunia; Roh Kudus, yang memimpin Gereja sepanjang segala abad sambil kita menantikan kedatangan Tuhan kembali dalam kemuliaan. GEREJA BERTUGAS MENGANTAR UMAT KATOLIK MEMASUKI PINTU IMAN 2. Sejak permulaan pelayanan saya sebagai Penerus Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan iman, sehingga memberikan pencerahan yang lebih jelas akan sukacita dan semangat yang diperbarui oleh perjumpaan dengan Kristus. Dalam homili pada Misa yang menandai peresmian pontifikat/ kepausan saya, saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, dan semua pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk memimpin umat keluar dari padang gurun, menuju ke tempat kehidupan, menuju persahabatan dengan Putera Allah, menuju Dia, yang memberi kita kehidupan, dan kehidupan yang berkelimpahan.”[1] Sering terjadi, bahwa umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada konsekuensi-konsekuensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, dengan tetap berpandangan tentang iman sebagai sebuah anggapan yang dengan sendirinya membuktikan dirinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam kenyataannya, anggapan ini bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya, tetapi hal tersebut sering secara terang-terangan diingkari.[2] Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal suatu matriks unit kemasyarakatan, yang secara luas diterima sebagai daya tarik terhadap isi iman dan nilai-nilai yang diinspirasikan olehnya, di masa sekarang ini hal ini nampaknya tidak lagi menjadi kasus di dalam lingkupan luas masyarakat, karena adanya krisis iman yang mendalam yang telah mempengaruhi banyak orang. MENGHIDUPKAN KEMBALI IMAN KITA 3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat 5:13-16). Orang-orang zaman sekarangpun masih tetap dapat merasakan kebutuhan untuk pergi ke sumur, seperti wanita Samaria, untuk mendengarkan Yesus, yang mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh 4:14). Kita harus menemukan kembali sedapnya rasa kita menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah disampaikan oleh Gereja, dan menyantap roti hidup yang telah diserahkan bagi kehidupan para murid-Nya (lih. Yoh 6:51). Sungguh, pada zaman inipun ajaran Yesus masih tetap bergema dengan kuasa yang sama: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” (Yoh 6:27). Pertanyaan yang dulu ditanyakan oleh para pendengar-Nya adalah sama dengan pertanyaan yang kita ajukan sekarang: “Apakah yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki Allah?” (Yoh 6:28). Kita mengetahui jawaban Yesus: ”Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh 6:29). Oleh karena itu, percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai dengan pasti kepada keselamatan. TAHUN IMAN UNTUK MENEMUKAN KEMBALI IMAN KITA 4. Di dalam terang semua hal ini, saya telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, juga adalah hari ulang tahun yang ke- duapuluh dari penerbitan buku Katekismus Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yohanes Paulus II,[3] dengan maksud untuk memberikan kepada semua umat beriman gambaran tentang kekuatan dan keindahan iman kita. Dokumen tersebut, sebagai buah yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Sinode Luar-biasa Para Uskup pada tahun 1985 sebagai sebuah sarana bantu bagi pelayanan Katekese[4] dan telah diterbitkan dalam kerjasama dengan semua Uskup Gereja Katolik. Tambahan pula, tema Sidang Umum Sinode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012 adalah: “Evangelisasi Baru untuk Penerusan Iman Kristiani”. Hal ini akan menjadi kesempatan yang baik untuk menghantar segenap Gereja masuk ke dalam saat refleksi yang khusus dan penemuan kembali imannya. Ini bukan yang pertama kalinya Gereja menetapkan untuk merayakan Tahun Iman. Pendahulu saya yang terhormat Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1967, untuk memperingati kemartiran Santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan sembilan belas abad tentang tindakan terluhur kesaksian mereka. Beliau berpendapat hal itu sebagai saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk untuk membuat “suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari iman yang sama”. Selanjutnya, beliau menghendaki bahwa hal ini diteguhkan dengan cara yang “individual maupun kolektif secara bebas dan bertanggung jawab, baik secara lahir maupun batin, dengan rendah hati dan terus-terang”.[5] Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat akan iman itu, sehingga dengan demikian menguatkannya, memurnikannya, meneguhkannya dan mengakuinya.”[6] Pergolakan besar tahun itu semakin menunjukkan kebutuhan akan perayaan semacam ini. Perayaan itu ditutup dengan Pengakuan Iman Umat Allah[7] dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa isi hakiki iman yang selama berabad-abad telah membentuk warisan segenap umat beriman, perlu diteguhkan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar menjadi kesaksian iman yang konsisten di dalam keadaan-keadaan historis yang ada saat ini yang sangat berbeda dengan keadaan sejarah masa lampau. 5. Dalam arti tertentu, pendahulu saya yang terhormat itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekuensi dan kebutuhan dari masa pasca konsili”,[8] menyadari sepenuhnya akan kesulitan-kesulitan besar pada zaman itu, teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsiran yang benar akan hal itu. Nampak bagi saya bahwa saat peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II akan memberikan kesempatan yang baik untuk membantu umat memahami, bahwa naskah- naskah yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili itu, di dalam kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, diketahui secara luas dan diresapkan di dalam hati sebagai naskah-naskah yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja, di dalam Tradisi Gereja … Saya merasa lebih dari sebelumnya berkewajiban untuk menunjuk kepada Konsili itu sebagai rahmat agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja di abad keduapuluh: di sana kita menemukan penunjuk arah yang pasti bagi tindakan-tindakan yang kita ambil dalam abad itu yang sekarang baru dimulai.”[9] Saya juga ingin menekankan dengan sangat, apa yang sudah saya katakan tentang Konsili tersebut beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Penerus Petrus: ”Jika kita menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili itu dengan dibimbing oleh suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu adalah dan dapat menjadi semakin kuat berdaya guna bagi pembaruan Gereja yang senantiasa diperlukan.”[10] PEMBAHARUAN MELALUI PERTOBATAN BAGI SELURUH GEREJA 6. Pembaruan Gereja juga dicapai melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat beriman: justru dengan keberadaan mereka di dunia ini, umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang telah diwariskan Tuhan Yesus kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sementara Kristus, yang “suci, tanpa salah, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor 5:21), namun datang hanya untuk menebus dosa-dosa seluruh bangsa (lih. Ibr 2:17), …Gereja… merangkul para pendosa dalam pangkuannya, sekaligus [Gereja itu] suci, dan selalu perlu dimurnikan, secara terus-menerus mengikuti jalan pertobatan dan pembaharuan. Gereja, ‘seperti seorang pengembara di negeri asing, berjalan maju melawan arus di tengah- tengah penganiayaan dunia dan penghiburan dari Allah’, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhan sampai Ia datang (lih. 1Kor 11:26). Tetapi, oleh kuasa Tuhan yang telah bangkit, Gereja diberikan kekuatan untuk mengatasi dukacita dan kesulitannya, di dalam kesabaran dan di dalam cinta kasih, baik [dukacita dan kesulitan yang timbul] dari dalam maupun dari luar, sehingga Gereja dapat dengan setia menyatakan di dunia, meskipun dengan samar-samar, misteri Tuhannya sampai akhirnya, misteri tersebut dinyatakan di dalam terang yang sempurna.”[11] Dalam perspektif ini, Tahun Iman adalah suatu panggilan kepada sebuah pertobatan yang sejati dan baru kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia. Di dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam kepenuhannya Kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa-dosa (lih. Kis 5:31). Bagi Santo Paulus, Kasih ini menghantar kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan… bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom 6:4). Oleh iman, hidup yang baru ini memberi wujud bagi seluruh keberadaan manusia sesuai dengan kenyataan baru yang radikal dari kebangkitan Tuhan. Sejauh ia dengan bebas bekerjasama, pikiran-pikiran manusia dan perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit dimurnikan dan diubah, dalam suatu perjalanan yang tidak pernah akan sepenuhnya selesai di dalam kehidupan ini. “Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal 5:6) menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup manusia (lih. Rom 12:2; Kol 3:9-10; Ef 4:20-29; 2Kor 5:17). PEMBAHARUAN IMAN MELALUI EVANGELISASI SEBAGAI PENGALAMAN KASIH 7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor 5:14): Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita untuk melakukan evangelisasi. Sekarang ini, seperti di waktu yang dulu, Kristus mengutus kita melalui lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil-Nya kepada seluruh bangsa di bumi (lih. Mat 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya bangsa-bangsa dari segala keturunan: di dalam setiap zaman Dia menghimpun Gereja, mempercayakan kepadanya pewartaan Injil oleh sebuah mandat yang senantiasa baru. Pada zaman sekarangpun, terdapat sebuah kebutuhan akan komitmen gerejawi yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali suka cita dalam percaya dan kegairahan untuk mengkomunikasikan iman. Dalam menemukan kembali kasih-Nya dari hari ke hari, komitmen perutusan dari umat beriman mencapai kekuatan dan kegairahan yang tak pernah dapat pudar. Iman bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang telah diterima, dan ketika iman dikomunikasikan sebagai suatu pengalaman rahmat dan suka cita. Iman itu membuat kita berbuah, sebab ia memperluas hati kita di dalam pengharapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi mereka yang mendengarkan dan menanggapi undangan Tuhan untuk melekat kepada sabda-Nya dan menjadi murid-murid-Nya. Orang-orang yang percaya, demikian Santo Agustinus mengatakan pada kita, “menguatkan diri mereka sendiri dengan percaya.”[12] Uskup Hippo yang kudus itu memiliki alasan yang tepat untuk mengungkapkan dirinya dengan cara ini. Sebagaimana kita ketahui, hidupnya merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman sampai suatu saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam Allah.[13] Karya tulisnya yang luas dan lengkap, yang di dalamnya Agustinus memberi penjelasan tentang pentingnya percaya dan kebenaran iman, sampai sekarang tetap terus membentuk warisan kekayaan yang tiada taranya, dan tetap membantu banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”. Karena itu, hanya melalui percaya, iman bertumbuh dan menjadi lebih kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk memiliki kepastian tentang kehidupan, kecuali dengan penyerahan diri sendiri, dengan suatu kesetiaan yang terus menguat [crescendo], ke dalam rangkulan sebuah cinta yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena cinta itu berasal dari Allah. RENUNGAN AKAN IMAN WAJIB DIINTENSIFKAN 8. Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup seluruh dunia untuk bergabung bersama dengan Penerus Petrus selama masa yang penuh dengan rahmat rohani yang dianugerahkan Tuhan kepada kita, dengan mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak merayakan Tahun itu dengan cara yang pantas dan berbuah. Renungan tentang iman harus dikuatkan, agar membantu semua umat yang beriman kepada Kristus untuk memperoleh keterpautan yang lebih disadari dan lebih bersemangat, kepada Injil, khususnya pada saat terjadi perubahan yang mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di gereja-gereja di seluruh dunia; di rumah-rumah kita dan di antara kaum keluarga kita, sehingga setiap orang dapat merasakan kebutuhan yang kuat untuk mengetahui dengan lebih baik dan untuk meneruskan kepada generasi yang akan datang iman segala zaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara sepanjang Tahun ini, untuk membuat pengakuan syahadat (Credo) secara publik. UMAT DIHARAPKAN MEWUJUDKAN PENGAKUAN IMAN SECARA LEBIH SADAR 9. Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, dengan penuh kepercayaan dan harapan. Tahun tersebut juga akan menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan; … dan juga adalah sumber dari mana seluruh kekuatan Gereja itu mengalir”.[14] Pada saat yang sama, kita berdoa agar kesaksian hidup umat beriman dapat bertumbuh semakin meyakinkan. Menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan,[15] dan merenungkan kembali tentang tindakan iman, adalah tugas yang harus dijadikan sebagai tugasnya sendiri oleh setiap umat beriman, khususnya selama Tahun Iman ini. Bukan tanpa alasan, umat Kristiani pada abad-abad awal dituntut untuk menghafalkan pengakuan iman tersebut. Bagi mereka hal itu menjadi doa setiap hari, agar tidak lupa pada komitmen yang telah mereka ikrarkan di dalam Pembaptisan mereka. Dengan kata-kata yang sarat makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini di dalam homili tentang redditio symboli, tentang penyerah-alihan (penerusan) pengakuan iman: “Simbol misteri kudus yang telah kalian terima bersama dan yang pada hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu, adalah perkataan yang atasnya iman Bunda Gereja didirikan dengan kokoh di atas landasan yang stabil, yang adalah Kristus Tuhan. Kalian telah menerimanya, dan mengucapkannya, namun kalian harus tetap memeliharanya di dalam budi dan hati sanubari kalian, kalian harus tetap mengulanginya di tempat tidur kalian, mengingat-ingatnya di tempat-tempat publik, dan tidak melupakannya sementara kalian makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus tetap menjaganya dengan hati kalian.”[16] TINDAKAN IMAN 10. Di sini saya ingin membuat sketsa sebuah jalan yang dimaksudkan untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi iman itu, melainkan juga tindakan yang dengannya kita memilih untuk mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah, dengan penuh kebebasan. Pada kenyataannya, terdapat kesatuan yang mendalam antara tindakan yang dengannya kita beriman dan isi iman yang kepadanya kita memberikan persetujuan kita. Santo Paulus membantu kita masuk ke dalam kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Rom 10:10). Hati menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa seseorang menjadi percaya adalah anugerah Allah dan perbuatan rahmat yang bertindak dan mengubah seseorang dari dalam. SEBAGAI LANJUTAN DARI HATI YANG DIGERAKKAN OLEH RAHMAT ILAHI Teladan Lydia secara khusus menjadi sangat tepat dalam hal ini. Santo Lukas menceriterakan bahwa, ketika ia berada di Filipi, pada suatu hari Sabat, Paulus memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis 16:14). Di dalam ungkapan ini terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas mengajarkan bahwa pemahaman isi dari yang harus diimani tidaklah memadai jika hati, yaitu tempat kudus yang sejati di dalam diri seseorang, tidak turut dibuka oleh rahmat yang membuat mata dapat melihat apa yang ada di bawah permukaan dan mamahami, bahwa apa yang telah diwartakan adalah Sabda Allah. DILANJUTKAN DENGAN PENGAKUAN IMAN DAN KOMITMEN Pengakuan dengan mulut pada gilirannya menunjukkan, bahwa iman melibatkan pengakuan secara publik dan komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman adalah tindakan pribadi saja. Beriman adalah memilih untuk memihak kepada Allah agar dengan demikian hidup dengan Dia. “Memihak kepada Dia” ini menunjuk kepada pemahaman akan alasan-alasan mengapa menjadi percaya. Justru karena iman adalah suatu tindakan yang bebas, iman juga menuntut tanggungjawab sosial atas apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta, Gereja menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keimanan dan pewartaan iman ini tanpa takut, kepada setiap orang. Karunia Roh Kuduslah yang membuat kita siap untuk diutus dan yang menguatkan kesaksian kita, serta menjadikannya terus-terang dan berani. ADALAH SUATU TINDAKAN PRIBADI, DAN JUGA BERSIFAT KOMUNITAS Pengakuan iman adalah suatu tindakan yang selain bersifat pribadi, tetapi juga bersifat komunitas. Gerejalah yang menjadi subjek utama dari man. Di dalam iman dari komunitas Kristiani, setiap individu menerima baptisan, suatu tanda efektif tentang pintu masuk ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh keselamatan. Sebagaimana kita membaca di dalam buku Katekismus Gereja Katolik: “Aku percaya”, adalah iman Gereja, yang diakui secara pribadi oleh setiap orang percaya, terutama pada waktu Pembaptisan. “Kami percaya” adalah iman Gereja, yang diakui oleh para Uskup yang berkumpul di dalam konsili atau secara lebih umum oleh pertemuan liturgis umat beriman. “Aku percaya”: adalah juga Gereja, ibu kita, dalam menanggapi Allah dengan iman sebagaimana ia mengajarkan kita berkata: baik “aku percaya”, maupun “kami percaya”.[17] Jelaslah, bahwa pengetahuan akan isi iman adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan persetujuannya, yaitu untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang disampaikan oleh Gereja. Pengetahuan akan iman membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan misteri keselamatan yang diwahyukan Allah. Persetujuan yang kita berikan itu berarti bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan bebas seluruh misteri iman, sebab penjamin dari kebenarannya adalah Allah, yang mewahyukan diri-Nya sendiri dan mengizinkan kita mengetahui misteri cinta-kasih-Nya.[18] Di sisi lain, kita tidak boleh lupa, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang meskipun tidak meng-klaim memiliki anugerah iman itu, namun secara tulus mencari makna yang tertinggi dan kebenaran yang pasti tentang hidup mereka dan dunia. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” yang otentik kepada iman, karena ia menuntun orang pada jalan yang membawanya kepada misteri Allah. Sebenarnya, akal-budi manusia mengandung di dalam dirinya sendiri tuntutan bagi “apa yang selamanya sah dan langgeng”.[19] Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang tetap, yang terpatri secara tak-terhapuskan di dalam hati manusia, untuk mulai bergerak mencari Dia, yang tidak akan kita cari seandainya Dia tidak lebih dahulu bergerak untuk menemukan kita.[20]. Pada perjumpaan inilah, iman mengundang kita dan iman membuka kita sepenuhnya. KATEKISMUS ADALAH SARANA UNTUK MENGENAL ISI IMAN SECARA SISTEMATIK 11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik akan isi iman itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan tak tergantikan. Katekismus adalah salah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, yang ditandatangani, bukan karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke tiga-puluh pembukaan Konsili Vatikan Kedua, Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Saya menyatakan Katekismus menjadi suatu alat bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”.[21] MENGAJARKAN KITA KEBENARAN YANG HAKIKI AKAN IMAN KITA Dalam arti inilah bahwa Tahun Iman harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari isi fundamental dari iman yang dirangkum secara sistematis dan organik di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah, sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga dan diwartakannya sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci, sampai ke para Bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para orang kudus sepanjang segala abad, Katekismus tersebut memberikan rekaman yang tetap tentang banyak cara yang di dalamnya Gereja telah merenungkan iman itu dan telah membuat kemajuan di dalam ajaran, sehingga memberikan kepastian kepada umat beriman di dalam kehidupan iman mereka. DENGAN DIIRINGI OLEH BANTUAN LITURGI DAN SAKRAMEN-SAKRAMEN Dalam strukturnya yang seperti itu, Katekismus Gereja Katolik mengikuti perkembangan iman langsung tentang tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halamannya, kita temukan bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan tetapi suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental yang di dalamnya Kristus hadir, bertindak dan terus membangun Gereja-Nya. Tanpa liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan iman akan kehilangan daya gunanya, sebab ia akan kehilangan rahmat yang mendukung kesaksian Kristiani. Melalui persyaratan yang sama, ajaran Katekismus tentang kehidupan moral memperoleh arti yang penuh, apabila ditempatkan di dalam keterikatannya dengan iman, liturgi dan doa. DIPERLUKAN BANTUAN DARI KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN DAN DIKASTERI-DIKASTERI TAHTA SUCI 12. Maka, di dalam Tahun Iman ini, Katekismus Gereja Katolik akan dipergunakan sebagai alat bantu untuk memberikan dukungan nyata bagi iman, terutama bagi mereka yang terkait dengan pembentukan/pembinaan umat Kristiani, yang sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk tujuan ini, saya telah mengundang Kongregasi untuk Ajaran Iman, dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk menyusun sebuah Nota, yang akan memberikan kepada Gereja dan kepada umat beriman secara individu, beberapa patokan tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman ini dengan cara yang se-efektif dan se-tepat mungkin, bagi kepentingan iman dan pewartaan (evangelisasi). Dalam skala yang lebih besar dari pada di masa yang lampau, sekarang ini iman dihantam dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap mental yang telah berubah, yang, khususnya dewasa ini, membatasi bidang kepastian-kepastian rasional kepada bidang penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu pengetahuan yang sejati, sebab keduanya, kendatipun melalui jalur yang berbeda, mengarah kepada kebenaran.[22] KESAKSIAN IMAN DARI PARA KUDUS 13. Satu hal yang akan menentukan dalam Tahun Iman ini adalah, penelusuran sejarah iman kita, yang ditandai sebagaimana adanya dengan misteri yang tak terpahami tentang keterjalinan antara kekudusan dan dosa. Sementara hal yang pertama menyoroti kontribusi besar yang telah dilakukankan oleh para laki-laki atau perempuan bagi pertumbuhan dan perkembangan komunitas melalui kesaksian hidup mereka, hal yang kedua harus membangkitkan di dalam setiap orang suatu karya yang tulus dan berkesinambungan tentang pertobatan untuk mengalami belas kasihan Bapa, yang ditawarkan kepada semua orang. YESUS SEBAGAI MODEL KEHIDUPAN IMAN Selama waktu ini kita perlu untuk tetap menjaga pandangan kita kepada Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr 12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan pemenuhannya. Sukacita kasih, jawaban atas drama penderitaan dan kesakitan, kekuatan pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya ini menemukan kepenuhannya di dalam misteri Inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika Dia mengambil bagian di dalam kelemahan manusiawi kita, agar dapat mengubahnya dengan kuasa kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah wafat dan bangkit kembali demi keselamatan kita, contoh teladan iman yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini dibawa ke dalam kepenuhan terang. TELADAN DARI BUNDA MARIA Dengan iman, Maria menerima kata-kata Malaikat dan percaya kepada pesan bahwa ia akan menjadi Bunda Allah di dalam ketaatan kesalehannya (lih. Luk 1:38). Ketika mengunjungi Elisabet, ia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi karena karya-karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh kepercayaan kepada-Nya (lih. Luk 1:46-55). Dengan sukacita dan kegentaran ia melahirkan anaknya yang tunggal, dengan tetap mempertahankan keperawanannya (lih. Luk 2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari penganiayaan Herodes (lih. Mat 2:15-17). Dengan iman yang sama, ia mengikuti Tuhan di dalam pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai akhir ke Golgota (lih. Yoh 19:25-27). Dengan iman, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (lih. Luk 2:19,51). Ia menyerahkan semua itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di Ruang Atas untuk menerima Roh Kudus (lih. Kis 1:14-2:1-4). KEHIDUPAN IMAN PARA RASUL Dengan iman, para Rasul telah meninggalkan segalanya dan mengikuti Tuhan mereka (lih. Mat 10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang dengannya Ia mewartakan Kerajaan Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (lih. Luk 11:20). Mereka hidup di dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya, yang mewariskan kepada mereka suatu peraturan baru tentang hidup, dengan mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (lih. Yoh 13:34-35). Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk mewartakan Injil kepada semua ciptaan (lih. Mrk 16:15) dan mereka tanpa takut mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan, yang tentangnya mereka adalah saksi-saksi yang setia. CONTOH HIDUP PARA MURID YESUS Dengan iman, para murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran para Rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan kepunyaan mereka sebagai milik bersama agar dengan demikian mereka memenuhi kebutuhan saudara-saudara mereka (lih. Kis. 2:42-47). MARTIR MENYERAHKAN HIDUP DEMI IMAN Dengan iman, para martir menyerahkan hidup mereka, dengan memberikan kesaksian kepada kebenaran Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mencapai pemberian terbesar dari cinta-kasih: pengampunan bagi para penganiaya mereka. KESAKSIAN DARI PARA RELIGIUS Dengan iman, para pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, dengan meninggalkan segala sesuatu, agar dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata penantian akan Tuhan yang datang tanpa tertunda. Dengan iman, tak terbilang banyaknya umat Kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan pembebasan dari penindasan dan mewartakan suatu tahun penuh kebaikan bagi semua orang (lih. Luk 4:18-19). KESAKSIAN DARI BANYAK UMAT KRISTIANI DARI SEGALA ABAD Dengan iman, sepanjang segala abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di dalam Kitab Kehidupan (lih.Why 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian terhadap kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang Kristiani: di dalam keluarga, di tempat kerja, dalam kehidupan publik, di dalam melaksanakan kharisma-kharisma dan pelayanan- pelayanan yang kepadanya mereka dipanggil. Dengan iman, kita juga hidup: dengan menghayati pengakuan yang hidup akan Tuhan Yesus, yang hadir di dalam hidup kita dan di dalam sejarah kita. MELAKSANAKAN KESAKSIAN HIDUP DALAM CINTA KASIH 14. Tahun Iman juga akan menjadi sebuah kesempatan yang baik untuk menguatkan kesaksian amal kasih. Sebagaimana Santo Paulus mengingatkan kita: “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih” (1 Kor 13:13). Bahkan dengan kata-kata yang lebih kuat, ‒yang telah senantiasa menempatkan umat Kristiani di bawah kewajiban,‒ Santo Yakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku” (Yak 2:14-18). HUBUNGAN ANTARA IMAN DAN CINTA KASIH Iman tanpa kasih tidak akan menghasilkan buah, sedangkan kasih tanpa iman hanya akan menjadi suatu perasaan yang terus menerus berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih saling mensyaratkan satu sama lain, sedemikian rupa di mana yang satu akan membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang Kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang sendirian, yang terpinggirkan atau terkucilkan, sebagaimana juga bagi mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah Kristus sendiri. Melalui iman, kita dapat mengenali wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Kata-kata ini adalah peringatan yang harus tidak boleh dilupakan dan undangan yang tetap bagi kita untuk membalas kasih yang dengannya Tuhan memelihara kita. Imanlah yang memampukan kita mengenali Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama kita di sepanjang perjalanan hidup kita. Didukung oleh iman, marilah kita memandang dengan penuh harap kepada komitmen kita di dunia, sambil kita menantikan “langit yang baru dan dunia yang baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr 3:13; lih. Why 21:1). UNDANGAN SANTO PAULUS UNTUK TUMBUH DALAM IMAN 15. Ketika sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar iman” (lih. 2Tim 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih muda (lih. 2Tim 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada kita masing-masing, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam iman. Adalah [sebagai] pendamping sepanjang hidup inilah yang membuat iman mampu untuk memahami, secara baru, keajaiban-keajaiban yang Tuhan lakukan bagi kita. Sambil bermaksud mengumpulkan tanda-tanda zaman di dalam sejarah kita sekarang ini, iman membuat setiap kita menjadi tanda yang hidup akan kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia ini. Apa yang secara khusus dibutuhkan oleh dunia sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya dari orang-orang yang memperoleh pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh sabda Tuhan dan yang mampu membuka hati dan budi banyak orang untuk merindukan Allah dan kehidupan yang sejati, kehidupan tanpa akhir. HARAPAN PAUS BENEDIKTUS XVI BAGI TAHUN IMAN “Supaya firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes 3:1): semoga Tahun Iman ini membuat hubungan kita dengan Kristus Tuhan, semakin bertambah teguh, karena hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang ke masa depan dan jaminan kasih yang sejati dan tetap. Semoga kata-kata Santo Petrus ini dapat memberikan seberkas sinar yang terakhir atas iman: “Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu — yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api — sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu” (1Ptr 1:6-9). Hidup umat Kristiani mengenal baik pengalaman sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang telah hidup di dalam kesendirian! Betapa banyak umat beriman, bahkan sampai hari ini, dicobai oleh keheningan Allah, ketika mereka lebih merindukan untuk mendengar suara-Nya yang menghibur! Percobaan-percobaan hidup, sementara membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil bagian di dalam penderitaan Kristus (lih. Kol 1:24), adalah juga suatu pendahuluan kepada sukacita dan harapan ke mana iman mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku kuat” (2Kor 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercayaan yang pasti ini kita mempercayakan diri kita kepada-Nya: Ia, yang hadir di tengah-tengah kita, mengalahkan kuasa si jahat (lih. Luk 11:20) dan Gereja, persekutuan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda bagi rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa. Marilah kita mempercayakan saat rahmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai, “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk 1:45). Dikeluarkan di Roma, di Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun kepausan saya yang ke tujuh. PAUS BENEDIKTUS XVI Catatan: Terjemahan dilakukan oleh katolisitas.org : http://katolisitas.org/8142/surat-apostolik-dari-paus-benediktus-xvi-pintu-kepada-iman. Judul tambahan untuk mempermudah mempelajari isi dokumen adalah tanggung jawab Romo F.X. Zen Taufik (fr.franciszen@gmail.com). Terima kasih kepada Rm. Zen yang telah memberikan masukan untuk revisi terjemahan di beberapa bagian dalam dokumen ini. Hanya dipergunakan untuk kalangan terbatas. CATATAN KAKI: Homili pada awal menjabat sebagai Uskup Roma dalam pelayanan sebagai penerus Petrus (24 April 2005):AAS 97 (2005), 710. [↩] Lih. Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro do Paço” di Lisabon, (11 Mei 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673. [↩] Lih. Paus Yohannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 113-118. [↩] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4 in Enchiridion Vaticanum, ix, n. 1797. [↩] Paus Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St. Petrus dan Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196. [↩] Ibid., 198. [↩] Paulus VI, Credo Umat Allah, Homili dalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran St. Petrus dan Paulus pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS 60 (1968), 433-445. [↩] PaulusVI, Audiensi Umum (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967), 801. [↩] Paus BeatoYoannes Paulus II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 57: AAS 93 (2001), 308 [↩] Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember 2005): AAS 98 (2006), 52. [↩] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 8. [↩] De Utilitate Credendi, I:2. [↩] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10. [↩] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 10. [↩] Lih. Paus Yohannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 116. [↩] Sermo 215:1. [↩] Katekismus Gereja Katolik, 167 [↩] Lih. Konsili Ekumenis Vatikan I, Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik, Dei Filius, Bab. III: DS 3008-3009: Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 5. [↩] Benediktus XVI, Sambutan di Collège des Bernardins, Paris (12 September 2008): AAS100 (2008), 722. [↩] Lih. Santo Augustinus, Confessions, XIII:1 [↩] Paus Yoannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117. [↩] Lih. Paus Yoannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14 September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87. [↩] Ditulis oleh: Gereja Katolik Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik Lihat semua artikel yang ditulis oleh: Gereja Katolik →