Tuesday 11 December 2012

KATEKESE & KEBIJAKAN PUBLIK

Katekese Umat dan Perjuangan Aspirasi Kebijakan Publik Perkembangan orientasi berpikir di dalam ranah kebijakan publik akhir-akhir ini menjadi sorotan yang cukup serius bagi lembaga-lembaga yang bergerak di sektor swadaya masyarakat. Hal itu dipacu oleh adanya konsepsi strategis otonomi daerah yang akan menjadi tantangan ataupun kesempatan bagi masyarakat dewasa ini. Gejala ini pastilah merambah kepada seluruh aspek kehidupan di masyarakat tanpa kecuali. Masyarakat dihadapkan pada berbagai tantangan apakah konsepsi sebuah kebijakan sungguh sudah memenuhi aspirasi masyarakat atau malah menguntungkan kepentingan tertentu. Masyarakat saat ini disadarkan betapa penguatan basis aspirasi menjadi komponen penting sebuah demokratisasi untuk kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Masalah ini bukanlah masalah satu golongan saja, tetapi masalah komponen masyarakat yang peka untuk sampai kepada masyarakat yang demokratis. Untuk itu tepatlah alasan Gereja secara khusus gereja lokal tak dapat tutup mata pada permasalahan ini. Gereja hendaknya terbuka melihat kembali permasalahan yang menyangkut kehidupan sosio politis masyarakat. Ruang kultis gereja haruslah merasuk di dalam perjuangan untuk sampai kepada pemberdayaan masyarakat. Ruang kultis haruslah menjadi daya kekuatan untuk gereja bergerak melebur di dalam keprihatinan sosio politis masyarakat dewasa ini. Ruang pertemuan umat haruslah peka menanggapi permasalahan sosial di sekitarnya. Ruang pertemuan umat bukan sekedar ruang kultis tetapi ruang yang menyatukan keprihatinan masyarakat dengan Visi gerakan Kerajaan Allah dan berbagai permasalahan akan kekuasaan, ketertidasan, kemiskinan dan kemarginalan. Ruang pertemuan umat menjadi ruang inspirasi bersama dengan berbagai lintas agama untuk berjuang bergerak membawa kepada masyarakat yang demokratis. Katekese Umat menjadi suatu ruang dimana refleksi iman sungguh disatukan dengan pengalaman sosio politis apa yang dihadapi umat di dalam masyarakat. Melalui Katekese Umat, apa yang kultis semakin direfleksikan untuk menjadi bagian dari actus yang harus diperjuangkan bersama. Perjuangan tidaklah semata-mata politis, melainkan ada aspek visi pada sebuah nilai dan pusat keluhuran budi manusia yang telah di-internalisasi kedalam spiritualitas ruang kultis umat. Perjuangan akan semakin menampakan visinya di dalam kancah sosio politis, bahwa tidak sekedar menjadi gerakan biasa melainkan menjadi gerakan yang utuh merambah kesatuan aspek etis-spiritualitas, sehingga pilihan politispun sungguh berpusat pada nilai kemanusiaan. A. Meretas Kembali Pengalaman Iman Umat dengan Ruang Kebijakan Publik Katekese Umat menekankan ruang dialogal antara pengalaman aktual dan visi Gereja untuk menjadi sebuah kekayaan hermeneutik bagi umat. Kekayaan tersebut menjadi kekayaan iman umat yang saling dikomunikasikan bersama. Dalam upaya Komunikasi Iman umat ini terjadilah berbagai proses yaitu antara apa yang disebut dialog, kisah dan visi. Dialog [ Pemikiran tentang pengalaman, subyek yang berefleksi, dialog dan kisah atau visi diadaptasi dan disadur dari gagasan Heryantno. W.W., SJ. (2001). Makalah Lokakarya Nasional PAK, di Syantikaran tentang SCP, pemikiran dari Thomas Groome]dipahami sebagai jalan, cara berada dan bertindak sehingga menjadi habi­tus. Dialog dimulai dari diri yang beraksi, berkontemplasi dan berefleksi, kemu­dian bergerak keluar sehingga terjadilah perjumpaan antar subyek yang saling siap mendengarkan dengan hati. Perjumpaan itulah yang akan membentuk komunitas atau paguyuban. Dialog di dalam proses ini dipahami sebagai proses penegasan bersama (communal discerment). Dengan itu hasilnya dipahami sebagai milik bersama (common vision dan mission). Ada empat atau lima arah subyek dialog, subyek dengan subyek lain, subyek dengan “teks” (apresiasi) dalam hal ini dapat terkait dengan isu kebijakan publik untuk sampai Kon-teks dan bagaimana Visi Gereja atas pemaknaannya, subyek dengan pendamping, subyek dengan suasana, dan dengan Tuhan sendiri sebagai pusat hidupnya. Syarat dialog yang ditekankan adalah cintakasih, kerendahan hati, kepercayaan, pemikiran yang kritis, dan pengharapan yang realistis akan masa depan yang lebih baik. Kisah (story) dan visi, Di sini bukan merupakan kisah biasa tetapi kisah hidup subyek yang dengan sepe­nuh hati menghayati pengalaman hidup di dalam realitas hidupnya menurut kebudayaan dan cara berpikirnya. Di dalam konteks sosio politis, dapat dimengertinya sebagai seba­gai citra pilihan politis. Citra pilihan politis tidak sama dengan sebuah kajian politik praktis. Citra pilihan politis juga bukan merupakan kumpulan dan catatan-catatan kepribadian yang bias dan sarat dengan kepentingan politis praktis tertentu, Citra pilihan politis lebih merupakan reservoir atau storehouse dari pengalaman kolektif subyek beserta interpretasinya dalam bingkai sosial, politik dan budaya. Fungsinya mengusahakan kesinambungan (kontinuitas) dan sekaligus mendorong ke arah perkembangan. Citra pilihan politis juga berpengaruh di dalam memberi makna, menjadi sum­ber inspirasi. Citra pilihan politis terinterpretasikan dan diwujudnyatakan secara baru menurut keadaan konkret (reshaped dan remade). Citra pilihan politis memang selalu mengundang kita untuk maksud tersebut. Kemudian, yang dimaksud visi di sini adalah kerinduan semua umat manusia untuk mengalami kepenuhan dan kesempurnaan hidup sesuai dengan keluhuran budaya dan kehidupan umat manusia. Maka visi yang utama adalah kesejah­teraan hidup semua makhluk atau terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan dan keluhuran budi di tengah-tengah hidup manusia. Dalam katekese umat Visi Gereja yang terpusat dari Injil dan magisterium gereja dan tradisi menjadi pusat nilai yang dihermeneutikan dengan pengalaman dan isu kebijakan publik. Di dalam kajian ini, refleksi kekayaan pengalaman subyek dalam bingkai sosio politis dan visinya berperan sebagai mitra berdialog dan sumber inspirasi. Arahnya bukan hanya supaya diketahui tetapi agar meresapi dan membentuk cara hidup subyek. Dengan re­fleksi dan dialog, subyek mengkomunikasikan kisah hidup dan visinya dengan kisah hidupnya sepanjang sejarah dan visinya sehingga terjadilah proses interpretasi yang bersifat dialektis. Melalui interpretasi yang dialektis diharapkan terjadi peneguhan, pembaruan dan transformasi hidup subyek. Transformasi hidup dan pembaharuan integral yang terus menerus dari semua subyek menjadi muara dari proses ini [ diadaptasi dan disadur dari gagasan Heryantno. W.W., SJ. (2001). Makalah Lokakarya Nasional PAK, di Syantikaran tentang SCP, pemikiran dari Thomas Groome]. Proses dialog dalam Komunikasi Iman dan bingkai sosio politis masyarakat yang terwujud di dalam citra pilihan politis haruslah dihadapkan pada sebuah permasalaham bersama mengenai kebijakan publik yang dihadapi masyarakat. Kebijakan publik dalam hal ini terkait dengan gerakan masyarakat sipil (civil society). Diharapkan dari hal itu dimunculkannya gerakan untuk mendorong perubahan sosial melalui pemberdayaan politik (community empowering), penguatan arus bawah peningkatan pendapatan ekonomi, dll. Gerakan masyarakat sipil itu intinya adalah organisasi masyarakat yang independen (mandiri) dan tidak menjadi bagian dari institusi formal dan state apparatus sebagai perwujudannya. Salah satunya adalah kategori elementer masyarakat sipil yaitu; popular organization (organisasi massa/rakyat) atau organisasi akar rumput yakni yang berbasis pada ruang tertentu (sparsial-misalnya RT, RW atau desa). Proses dialog menjadi bagian dari proses penyadaran, bagaimana pengalaman iman terintegrasi dengan upaya pemberdayaan masyarakat sipil. Hal itu didasari bahwa Umat di tingkat basis lingkungan menjadi bagian dari perjuangan masyarakat sipil. Umat di tingkat basis lingkungan merupakan umat Gereja lokal yang langsung bersentuhan dengan berbagai permasalahan yang menyangkut kebijakan publik ini. Kebijakan publik [ Pemikiran ini dikembangkan dari makalah Jumalnsyah, petikan pengalaman lembaga (Konsepsi NTB) bersama masyarakat di dua kabupaten, Sumbawa dan Lombok Timur terlibat dalam proses legislasi daerah.. www. google.com dan berbagai simpul-simpul yang ditemukan di dalam aktivitas adokasi kebijakan publik PATTIRO Semarang.]saat ini menjadi begitu penting, hal itu dilatar belakangi mengenai situasi dewasa ini. Perjalanan bangsa kita akhir-akhir ini dipicu dengan semangat gerakan reformasi, maka di daerah ditandai pula adanya usaha desentralisasi (konsep otonomi daerah). Kuatnya birokrasi produk lama, ditambah dengan rnunculnya anggota legislatif yang berperilaku sebagai “eksekutif baru” menambah daftar praktek KKN dengan berbagai modusnya. Perencanaan pembangunan yang masih top down, dimana terjadi pergeseran pusat perencanaan dari Jakarta ke ibukota kabupaten dengan minimnya pelibatan (partisipasi) pihak lain di luar birokrasi dan legislatif. Keputusan-keputusan yang dilahirkan dari gedung DPRD ternyata tidak selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat, banyak kasus yang menunjukkan hal tersebut. Kurangnya APBD yang memprioritaskan kepada kepentingan masyarakat umum, banyaknya PERDA yang belum begitu menampung aspirasi masyarakat bahkan banyak yang marugikan. Saat ini di daerah-daerah baru berlomba untuk membuat berbagai Raperda sebagai proses di dalam berpemerintahan, dan hal ini hanya sebatas performa saja. Proses legislasinya pun (kebijakan daerah) belum mengalami perubahan yang berarfi sekalipun rezimnya telah berubah. Pengambilan keputusan publik daerah pun (perda) merupakan praktek elitis bahkan berbau “konspiratorial” antara eksekutif— legislatif. Ada indikasi jika perdanya tematik, maka ada keterlibatan invenstor (pasar) dibaliknya, lagi-lagi masyarakat menjadi korban, menjadi subyek-subyek yang tak berdaya akibat relasi kekuasaan yang timpang di daerah. Fakta-fakta ini menunjukkan masih adanya proses monopoli oleh pembuat kebijakan atas masa depan jutaan masyarakat daerah. Kran keterbukaan daerah masih diselimuti kabut tebal warisan masa lalu, serta minimalnya proses membangun konsensus, yang ada hanyalah saling menegasikan (vis a vis) antara sektor pembuat kebijakan yang sedang menguasai pentas pemerintahan bersama sejumlah kewenangan dengan asosiasi masyarakat pada umumnya.Maka pentingnya gereja lokal sebagai salah satu bagian di dalam komunitas civilis di daerah menjadi pelaku proaktif melakukan counter kritis atas berbagai kebijakan publik yang masih sarat dengan dominasi dan kekuasaan dewasa ini. Katekese umat menjadi sangat strategis di dalam langkah gereja lokal memberikan pemberdayaan dan penyadaran aspirasi atas kebijakan publik. Katekese umat menemukan salah satu bentuknya untuk menjadikan ruang komunikasi iman yang dialogis pada permasalahan sosio politis umat. B. Meretas Kembali Langkah-Langkah Katekese Umat dan Isu Kebijakan Publik Dalam Membentuk Basis Gerakan. Di dalam Katekese Umat ada pokok-pokok penting yang selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dan harus ada, yaitu Pengalaman Faktual umat-Visi Tradisi Kristiani-Upaya hermeneutik (kekayaan iman umat) dan langkah pembaharuan. Langkah katekese mengenai pengungkapan pengalaman faktual umat dapat menjadi titik tolak mendasar bagaimana isu-isu kebijakan publik mendapatkan maknanya yang bararti. Persoalan isu kebijakan publik jika diangkat sebagai pengalaman kateketis tidaklah sebatas persoalan faktual politis belaka, melainkan menjadi pengalaman gerakan spiritual dimana ruang perjuangan akan keterpinggiran dan ketertindasan menjadi ruang perjuangan yang berdimensi religius. Pengalaman faktual yang diangkat memunculkan sebuah refleksi hermeneutik teologi politik kritis[ lih. Amatus Woy, SVD. (2004). Peranan Sosial Politik Komunitas Umat Basis, makalah dalam PKKI VIII, hal 11-14], dimana ada hubungan antara iman dan problematika sosial politik kemasyarakatan. Hubungan tersebut bukanlah hubungan yang terpisah, melainkan hubungan yang saling berpadu untuk menguatkan dan memaknainya. Keterpaduannya dan pemaknaan bukanlah sekedar persamaaan, melainkan adanya ruang korelasi yang memadukannya, yaitu ruang perjuangan akan ketertindasan. Kosakata kekuasaan tidak hanya dikenal dalam demensi sosio politis semata, melainkan menjadi bagian dari refleksi teologis, bahwa kekuasaan Allah telah direduksi oleh kekuasaan yang menyebabkan daya antagonisme yaitu pihak-pihak penguasa. Maka pemikiran ini dapat membentuk sebuah paradigma, bahwa pengalaman iman akan memperoleh pemurniaanya di dalam menetukan pilihan politis sebuah gerakan perjuangan untuk perubahan kepada civil society ini. Ruang teologi akan menuturkan fungsi pemurniaanya, bahwa iman bukanlah sekedar pelarian atas realitas kekuasaan. Pelarian untuk selalu mengkambing hitamkan kekuasaan Allah sebagai satu-satunya solusi atas kurban ketertindasan. Refleksi teologis semakin nyata untuk menjadi memberi makna atas sebuah perjuangan dan tindakan, sehingga seseorang sungguh mempertimbangkan demensi nilai etis dan nilai religius di dalam menetukan pilihan politisnya. Maka demensi kateketis haruslah mempertimbangkan teologi keterlibatan kritis sebagai bagian refleksi dan kemudian memberikan hermeneutik bagaimana sebuah visi kristiani berperan dalam menetukan pilihan politis ini. Sehingga demensi kateketis sungguh terasa bersifat transformatif dan revolutif untuk meningkatkan militansi gerakan kristiani di dalam keterlibatan sosio politis. Untuk itu bagaimana mencangkokan pendekatan kateketis dengan pendekatan-pendekatan yang sering digunakan dalam aktivitas Lembaga Swadaya Masyarakat perlu dikaji lebih dalam. Penggalian pengalaman faktual perlulah dikaji dengan berbagai pendekatan partisipatif masyarakat, dan sungguh-sungguh mampu menggulirkan isu mengenai kebijakan publik yang tak adil dan tak aspiratif di tingkat basis baik di wilayah teritorial atau kategorial di lingkup gereja lokal (Paroki). 1. Merajut pengalaman kritis faktual atas kebijakan publik dalam katekese Dalam pengalaman terangkum minat, pertanyaan-pertanyaan, harapan-harapan, kecemasan-kecemasan, perenungan dan penilaian-penilaian. Begitupun pengalaman menyikapi sebuah kebijakan publik. Sebuah pertanyaan, harapan, penilaian serta perenungan atas kebijakan publik menjadi daya kristis untuk semakin mempertajam sejauh mana kebijakan publik sungguh berguna bagi kepentingan umum. Menjadi tugas bagi katekese untuk membuat kelompok atau seseorang sadar akan pengalamannya. Begitu juga peran katekese untuk mengajak umat sadar akan pengalamannya menyikapi suatu kebijakan publik yang dihadapinya. Kesadaran ini dalam katekese mendapatkan titik terang melalui Cahaya Injil untuk menggali kembali pertanyaan-pertanyaan dan kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan kebijakan publik yang dihadapinya. Maka katekese dapat menjadi salah satu ruang dimungkinkannya data gathering mengenai berbagai permasalahan-permasalahan yang terkait dengan implementasi kebijakan publik yang langsung bersentuhan dengan umat di tingkat basis. Data gathering dari pengalaman merupakan akumulasi harapan, kecemasan, penilaian atas kebijakan publik yang dapat menjadi sebuah muara dari kontekstualitas hidup umat berhadapan dengan kekuasaan dan tata politik yang dihidupinya. Data gathering ini menjadi info penting seberapa jauh aspirasi kebijakan publik sungguh berdampak bagi kehidupan masyarakat. Pengalaman-pengalaman umat di dalam konteks kebijakan publik ini haruslah menjadi bagian dalam kerangka iman. Hal itu mendasar agar pengalaman tersebut dalam suatu cara trtentu dapat menjadi representasi locus bagi karya keselamatan Allah yang nyata di dalam konteks hidup sosio-politis umat di tingkat basis. 2. Refleksi kristis atas pengalaman kebijakan publik dalam katekese Sudah menjadi tugas bagi para katekis untuk membantu umat dalam proses katekese di dalam menafsirkan dan menerangi pengalaman dengan iman. Maka pengalaman tersebut haruslah dilihat dalam analisa tertentu agar sampai kepada visi yang diharapkan. Dalam kerangka kebijakan publik analisa yang dapat dimungkinkan adalah mencoba mengajak umat mengkritisi data gathering dari berbagi pengalaman dalam prinsip inequality (konflik kelas, konflik antara penindas dan tertindas, struktur dominasi dan kekuasaan). Maka perlulah dalam arti ini pentingnya sebuah prinsip-prinsip analisa sosial sederhana terhadap suatu kebijakan publik. Prinsip-prinsip suatu analisa sosial sederhana dapat meliputi prinsip-prinsip mengenai kekuasaan dan keadilan sosial [ dikembangkan dari Makalah Kursus Ansos dari A. Suryawasita, SJ.]. Prinsip-prinsip tersebut yaitu ; semua anggota di dalam masyarakat mau mengejar tujuan yang kurang lebih sama. Tujuan hidup tersebut antara lain : kelangsungan hidup yang layak, rasa aman, prestice atau pengakuan diri dalam kehidupan sosial dan lain sebagainya. Untuk mencapai tujuan tersebut , setiap anggota masyarakat berusaha menguasai sarana-sarana yang dapat memudahkan mereka mencapai tujuan tersebut. Yaitu antara lain : uang, pendidikan, lapangan kerja dan berbagai saluran-saluran sosial yang lainnya. Pada hakikatnya untuk mencapai tujuan tersebut, setiap anggota masyarakat membutuhkan anggota atau interaksi atau relasi yang lainnya, tetapi sekaligus anggota yang lain dialami sebagai pesaing. Atas dasar keyataan tersebut, agar dapat dihindari adanya persaingan yang kasar dan sebaliknya dibuat suatu persaingan yang sehat, aman, maka dibuatlah suatu aturan permainan (kebijakan publik), untuk dapat mengorganisasi dan mengatur interaksi tersebut. Pengaturan ini dibutuhkan apa yang disebut kekuasaan. Kekuasaan sendiri dapat dimengerti sebagai suatu kemungkinan yang dimiliki seseorang atau kelompok untuk melaksanakan kehendaknya, meskipun dilawan atau ditentang oleh orang lain atau kelompok lain. Pengaturan dan koordinasi seluruh kegiatan warga masyarakat tersebut menentukan dengan sendirinya sebuah sistem pembagian hasil-hasil produksi dari kegiatan masyarakat tersebut. Maka berbicara tentang keadilan sosial, berbicara pula mengenai kekuasaan. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa distribusi segala produksi masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan masalah kekuasaan. Hal itu didasarkan pada kenyataan, bahwa suatu kekuasaan dapat menentukan suatu aturan permainan, dalam hal ini suatu aturan permainan yang telah diciptakan akan mengatur seberapa banyak distibusi hasil produksi atau pembagian hasil di dalam masyarakat. Linkaran keterkaitan ini, akan menciptakan sebuah nilai-nilai yang akan berkembang dan berlaku di dalam masyarakat. Maka fungsi katekis haruslah mengajak umat untuk senantiasa kritis terhadap segala kebijakan publik yang ada. Umat diajak untuk sadar bahwa mereka merupakan bagian dari masyarakat yang selalu sadar akan fungsi kontrolnya terhadap setiap kebijakan publik yang muncul. Begitupun ketika umat dewasa ini dihadapkan pada isu-isu mengenai RAPBD (Rancangan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah) perlulah aspek-aspek apa yang patut diupayakan dalam sebuah RAPBD itu.Refleksi kritis atas apa yang dilakukan terhadap berbagai sharing keprihatinan dan penilaian terhadap kebijakan publik ini haruslah didasarkan pada muara pesan injil untuk mencoba merefleksi lebih dalam bagaimana terang imani menjawab keterlibatan sosio-politis ini. Sehingga apa yang menjadi analisa dan refleksi atas pengalaman dapat dibingkai dalam terang iman dan hidup menggereja umat. 3. Visi Kristiani dalam kerangka kritik Kebijakan Publik Gereja menghadirkan keselamatan di dunia haruslah nyata. Keselamatan kristiani selalu berhubungan dengan kesejahteraan manusiawi. Maka betapa iman haruslah menampakan aspek representasi nyatanya di dalam perbuatan. Iman merupakan satu kesatuan utuh di dalam keterlibatan aktif. Gerakan Yesus pun memperlihatkan betapa Yesus memberikan tempat primat atau prioritas perbuatan iman ketimbang pengakuan iman secara verbal dan seremonial[ lih. Amatus Woy, SVD. (2004). Komunitas Umat Basis dan Keterlibatan dalam bidang Sosial Politik, makalah dalam PKKI VIII, hal 4-5. ]. Gereja pasca Konsili Vatikan II semakin menanpakkan dan melebarkan ruangya kepada keterlibatan secara penuh di dalam setiap keprihatinan dunia. Pewartaan injil harus menjadi bagian dari pembangunan masyarakat baru. Gereja harus mewartakan injil di tengah-tengah masyarakat. Keterlibatan untuk mewartakan injil di tengah-tengah masyarakat inilah yang memperlihatkan arti Gereja yang sebenarnya. Untuk itu penegakan keadilan bukan hanya satu kerasulan, melainkan harus menjadi penggerak seluruh hidup Gereja dan menjadi demensi baru di dalam tugas kerasulannya[ Jacob, Tom. (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta. Kanisius, hal 37-38.]. Gereja ketika berhadapan dengan kebijakan publik ditantang untuk dapat mengajak umat sebagai warga masyarakat melihat lebih dalam sejauh mana sebuah kebijakan publik mempunyai kecenderungan menyudutkan aspirasi masyakarat. Dalam Gaudium et Spes[ Sebenarnya keterlibatan sosial Gereja juga dirumuskan dalam Rerum Nonavarum, Pacem In Terris, Mater et Magistra, Sollicitudo Rei Socialis, Cantesimus Annus.], Gereja merumuskan dan merefleksikan kembali keterlibatan penuh karya keselamatan di dalam perjuangan terhadap mengatasi ketidakadilan. Penataan masyarakat politik atau negara, struktur-struktur serta kekuasaan-keuasaan harus menunjang pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai dan berbuah hati terhadap semua orang, sehingga menguntungkan segenap keluarga manusia[ lih. GS 74]. Seluruh kebijakan politik yang menyangkut harkat hidup orang banyak mempunyai implikasi kekuasaan harus didasarkan kepada makin meluasnya keyakinan, bahwa umat manusia dapat dan harus menyusun tata politik, ekonomi dan sosial yang semakin mengabdi kepada manusia. Tata masyarakat dan kemajuan harus selalu menguntungkan orang-orang dan dikembangkan berdasarkan kebenaran dan keadilan, dihidupkan oleh cinta kasih, dan menemukan di dalam kebebasan keseimbangan yang makin manusiawi. Hal ini sungguh memerlukan dan membutuhkan perubahan mentalitas serta perombakan-perombakan sistem sosial[ lih dan bdk GS 26]. Perjuangan untuk mengatasi ketidak adilan sosial yang saat ini baru menggejala di setiap ranah implementasi kebijakan publik harus menjadi refleksi Gereja dalam keterlibatannya. Maka patut selalu diusahakan perjuangan untuk membuat kondisi-kondisi hidup yang lebih adil dan lebih manusiawi[ lih. GS 29, 30, 34, 38, 57.]. Hal ini harus menjadi bagian mendasar di dalam gerakan Yesus untuk memperjuangkan Kerajaan Allah. Dimana terjadinya situasi keadilan, cinta kasih dan damai yang tidak sekedar ditafsirkan di dalam bingkai kultis semata, melainkan sampai kepada gerakan nyata. Perjuangan Yesus melalui sabda dan teladanNya memperlihatkan solidaritas dan keprihatinanNya dengan kaum tersingkir dan kritis terhadap situasi ketidakadilan yang terjadi[ lih Mrk 7: 1-10, Luk 19:1-10, Luk 7: 36-50, Mat 15: 21-28, Yoh 8: 1-11, Mrk 3:1-5, Luk 4: 18, Mrk 7: 6-7, Mrk 6: 1-18, Mrk 2: 23-27 dll. ]. Begitupun gerakan profetik kenabian yang telah mencerminkan gerakan-gerakan untuk membela dari upaya ketidakadilan[ Misalnya Amos]. Dalam kaitannya dengan refleksi kebijakan publik, prinsip-prinsip sosial yang senantiasa mendasar adalah, pertama, bahwa kesejahteraan itu untuk kepentingan umum (bonum commune) tanpa meniadakan hak pribadi sebagai manusia. Kesejahteraan pribadi memberi sumbangan bagi kesejahteraan umum. Kedua, adalah solidaritas, dimana setiap orang saling memperhatikan dengan penuh tanggung jawab, saling menghargai dalam hidup tatanan sosialnya. Ketiga, adalah subsidiaritas, yaitu pembagian tanggung jawab sesuai dengan hak dan kewajibannya dalam prinsip-prinsip keadilan.[ lih, P. Go, O. Carm. (1984). Ajaran Sosial Gereja. Malang: Kerawam Keuskupan Malang, hal 16-18. ] 4. Hermeneutik antara Visi Kristiani dengan refleksi kritis atas kebijakan publik di dalam katekese. Perantaraan iman membutuhkan jembatan antara situasi tradisi iman yang lampau dengan keberadaan Kristianitas dalam situasi yang baru saat ini. Hal ini membutuhkan dialektika antara apa yang menjadi Visi dengan kenyataan faktual yang dihadapi. Terkait dengan kebijakan publik, akumulasi pengalaman, penilaian dan refleksi bagaimana sebuah kebijakan publik berdampak pada ruang hidup masyarakat dicoba untuk diteguhkan dan dikonfrontasi dalam bingkai visi. Hermeneutik yang cukup representatif terkait dengan daya kritis kebijakan publik adalah hermeneutik yang bersifat identifikasi antara pengalaman manusiawi dengan pengalaman religius. Bingkai hermeneutik ini mencoba untuk menemukan nilai bahwa di dalam kodrat dan pengalaman manusiawi ditemukan petunjuk-petunjuk ke arah adikodrati (analogia etis)[ Gerben Heitink. (1999) Teologi Praktis. Terjemahan oleh Ferd. Heselaars H, SJ. Yogyakarta: Kanisius, hal 145-146]. Maka dalam kerangka bingkai hermeneutik identifikasi ini, pengalaman-pengalaman faktual berhadapan dengan ketidakadilan atas berbagai kebijakan publik menjadi pengalaman upaya bagaimana Gereja harus berbuat untuk mengupayakan perjuangan keadilan sebagai sebuah pengalaman pembebasan dan warta sejati mengenai Kerajaan Allah di kancah hidup masyarakat saat ini. Pengalaman, harapan, penilaian, kekritisan akan kebijakan publik yang muncul serta direfleksikan dalam bingkai analisa sosial diidentifikasikan dengan sebuah visi mengenai tradisi suci yang kaya akan nilai-nilai pembebasan dari Allah. Tradisi suci-Kitab Suci mengenai kisah Yesus memberikan inspirasi, motivasi yang mendalam mengenai sebuah perjuangan sosio politis sebuah komunitas kritis yang saat ini berkarya. Komunitas itu adalah umat yang bersama dengan katekis untuk mencoba menggali berbagai aspirasi kritis persoalan kebijakan publik. 5. Langkah Pembaharuan sebagai upaya membangun Basis Gerakan kritis terhadap kebijakan publik[ dikembangkan dari berbagai pengalaman gerakan dan aliansi, dan disrikan dari Mansour Fakih, dkk. (2002). Mengubah Kebijakan Publik .Yogyakarta: Pustaka Pelajar.] Langkah aksi pembaharuan merupakan muara yang utama dari proses katekese. Proses ini bukanlah proses akhir, melainkan menjadi proses awal yang terus menerus menemukan spiral gerakan yang tak berkesudahan. Dalam proses ini apa yang menjadi lingkaran inti, upaya data gathering, refleksi kritis dan analisa serta visi yang menjiwai haruslah dicapai dalam sebuah bingkai gerakan. Maka dalam hal ini perlulah katekis sebagai fasilitator umat berusaha mengajak sampai kepada proses penemuan sebuah isu strategis. Setelah isu strategis dicapai perlulah sebuah perencanaan strategi untuk menggalang sekutu dan upaya perencanaan program yang menyangkut berbagai aspek kritis terhadap kebijakan publik. Ruang katekese menjadi ruang yang paling strategis untuk membetuk sebuah grounded work yang bersifat menepatkan sebuah pendidikan kewarganegaraan dalam bingkai spiritualitas. Maka dalam basis gerakan ini ada berbagai bentuk usaha untuk memobilisasi dan sosialisasi Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat (the Community Empowerment Approach) dapat menjadi bagian dari upaya ini. Tahapnya dapat sebagai berikut ; Sosialisasi internal– Meskipun cukup banyak umat yang telah terlibat dalam proses perancangan aksi , namun harus tetap dipastikan bahwa semua pihak terkait potensial mengetahui aksi dan gerakan ini dan bisa berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan, pengambilan keputusan dan pengkajian perkembangan. Hal ini bisa dilakukan dengan kunjungan pribadi ke pihak terkait penting, pertemuan dengan kelompok kecil, atau melalui rapat sosialisasi besar-besaran atau lokakarya dengan jumlah yang cukup banyak. Meningkatkan pemahaman - Jika umat sudah tahu tentang aksi dan gerakan ini, maka perlu diadakan pertemuan -pertemuan untuk membangun persepsi bersama dalam mengkomunikasikan tujuan, dan apa yang harus dilaksanakan. Ketekese berkala dapat menjadi bagian dari upaya ini agar didapat pemahaman yang reflektif dan integral dengan visi kristianitas. Menyusun Tim Pelaksana – setelah adanya upaya pemahaman yang lebih mendasar mengenai kebijakan publik yang dikritisi meliptui content (isi), Strukture (tata laksana) dan culture (budaya) sebuah PERDA atau sebuak kebijakan tertentu, perlulah dibuat tim khusus yang akan melaksanakan kerja-kerja basis secara efektif. Mengadakan Pelatihan dan lokakarya-lokakarya [ lokakarya dapat mempergunakan metode TOP (Tehnology Of Partisipation), lihat lampiran 3]- Jika gerakan membutuhkan pengertian-pengertian khusus yang mendalam, maka bisa dilakukan lokakarya-lokakarya kepada umat yang secara sukarela mau menjadi tim khusus kerja basis. Penggalangan sekutu (aliansi) dan penggalangan garis depan (front lines). Setelah berbagai tahap diatas dilakukan perlulah usaha untuk menggalang sekutu dengan berbagai lintas stage holders, LSM, dan berbagai masyarakat umum di seputar wilayah paroki untuk meningkatkan fungsi mobilisasi dan kekuatan counter dan pressure. Disamping menggalang sekutu, pentingnya mempunyai basis gerakan garis depan (front lines), gerakan ini berguna untuk melaksanakan kerja-kerja juru bicara, perundingan, pelobby, terlibat dalam proses legislasi dan juridiksi. Maka kerja garis depan merupakan kerja bersama dengan berbagai anggota dewan yang mau diajak untuk kerja sama dalam hal kerja ini. Ajukan konsep tanding dan pembelaan. Kerja ini dilaksanakan setelah berbagai hal dapat terpenuhi, yaitu sudah adanya konsep pengkritisan yang jelas persoalan kebijakan publik dan sudah mendapatkan berbagai bentuk-bentuk aliansi. Usaha untuk mengajukan konsep tanding dapat berupa legal drafting, counter drafting ataupun judicial review. Upaya untuk mempengaruhi pembuat kebijakan. Kerja ini merupakan kerangka kerja dari tim gerakan garis depan yang akan melaksanakan usaha untuk lobbi, negosiasi, mediasi dan kolaborasi untuk mempengaruhi pembuat kebijakan di tingkat DPRD. Upaya untuk mempengaruhi pendapat umum. Kerja ini dibuat untuk tujuan semakin memperoleh dukungan dari berbagai pihak. Hal ini dapat dilaksanakan dengan kampanye, siaran melalui pernyataan, jajak pendapat, selebaran. Melancarkan tekanan. Kerja ini merupakan kerja paling akhir jika tidak ada upaya konsolidasi dan perubahan atas kebijakan yang berarti. Upaya ini biasanya melalui upaya unjuk rasa. Kepustakaan Heryantno. W.W., SJ. (2001). Makalah Lokakarya Nasional PAK, di Syantikaran tentang SCP, pemikiran dari Thomas Groome Makalah Jumalnsyah, petikan pengalaman lembaga (Konsepsi NTB) bersama masyarakat di dua kabupaten, Sumbawa dan Lombok Timur terlibat dalam proses legislasi daerah. Bberbagai simpul-simpul yang ditemukan di dalam aktivitas adokasi kebijakan publik PATTIRO Semarang. Makalah Kursus Ansos dari A. Suryawasita, SJ Dokumen Konsili Vatikan II. Amatus Woy, SVD. (2004). Peranan Sosial Politik Komunitas Umat Basis, makalah dalam PKKI VIII. Amatus Woy, SVD. (2004). Komunitas Umat Basis dan Keterlibatan dalam bidang Sosial Politik, makalah dalam PKKI VIII. Jacob, Tom. (1987). Gereja Menurut Vatikan II. Yogyakarta. Kanisius. P. Go, O. Carm. (1984). Ajaran Sosial Gereja. Malang: Kerawam Keuskupan Malang Gerben Heitink. (1999) Teologi Praktis. Terjemahan oleh Ferd. Heselaars H, SJ. Yogyakarta: Kanisius Mansour Fakih, dkk. (2002). Mengubah Kebijakan Publik .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ilham Cendekia (2002), Tehnologi Partisipasi. Jakarta : Pattiro. disarikan dari pengalaman penulis terlibat di dalam gerakan advokasi kebijakan publik di kota Semarang. oleh: Purwono Nugroho Adhi Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang

No comments:

Post a Comment