Tuesday 11 December 2012

Katekese dan Tantangan Multitask

Sebuah catatan singkat penggunaan media komunikasi populer untuk kepentingan proses katekese A. Melihat Kembali Ciri Khas dan perkembangan Katekese dewasa ini Pertama, katekese merupakan salah satu metode dan bentuk pemberitaan Injil yang khas. Kekhasan tersebut terletak bahwa katekese menjadi karya ampuh yang memuat segi pemahaman dan pengetahuan iman. Kekhasan tersebut tampak melalui rumusan, bentuk dan metode katekese, serta isi pemahaman dan pengetahuan iman itu sendiri dalam upaya membentuk pola-pola hidup kristen yang sejati.1) Katekese mempunyai tujuan sebagai tahap pengajaran dan pendewasaan. Tujuan ini memungkinkan seseorang dimekarkan menuju kepenuhan Kristen. Melalui taraf pengetahuan ini seseorang diajak sampai kepada penghayatan dan pengertian tentang misteri Kristus yang sejati.2) Kedua, Dalam proses katekese dibutuhkan jembatan antara tradisi iman dengan visi atau nilai kristianitas dalam situasi yang baru saat ini. Hal itu membutuhkan hubungan yang bersifat timbal balik dan selaras antara apa yang menjadi visi dengan kenyataan faktual yang dihadapi. Dalam hubungan tersebut, pengalaman-pengalaman faktual berhadapan dengan berbagai nilai, makna dan pengalaman manusiawi itu menjadi muara bagaimana Gereja harus berbuat mengupayakan perjuangan visi Injil sebagai sebuah warta sejati mengenai Kerajaan Allah di kancah hidup masyarakat saat ini. Warta tersebut diharapkan mampu menjadi bentuk penyadaran atau konsientisasi yang berdampak spiritual baik secara perorangan maupun bersama. Maka, agar warta Injil sungguh menyentuh dan berdampak pada segi spiritual orang-orang di zaman sekarang, katekese harus senantiasa mampu membuat jembatan antara nilai kristianitas dan pengalaman hidup itu. Untuk itu, ketika orang-orang zaman sekarang telah dipengaruhi dengan gaya hidup dan berbagai perkembangan tehnologi modern, katekese hendaknya juga memanfaatkan sarana-sarana dan metode-metode modern itu, agar secara efektif mampu menyapa hidup orang di zaman sekarang. B. Membangun Isi dan Suasana Katekese yang menarik dan menyentuh. Dalam proses katekese, ada dua unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu isi dan suasana. Isi memuat proses edukatif dan konsientisasi menyangkut visi dan pengetahuan iman, nilai dan pesan moral bagi peserta katekese. Isi katekese tidak dapat dilepaskan dari pengaruh suasana, baik faktor perkembangan psikologis peserta katekese itu sendiri dan aspek-aspek eksternalnya, yaitu lingkungan, sarana, pendekatan dan metodenya. Maka diperlukan suasana akomodatif yang mampu menghantar isi kepada peserta katekese. Suasana tanpa isi akan membuat proses katekese hanya sekedar ruang hiburan, tetapi isi tanpa suasana akan membuat proses katekese bagaikan ruang ceramah yang membosankan dan sama sekali tidak edukatif bagi segi afektifitas peserta katekese. Untuk itu segi isi dan suasana menjadi bagian yang tak terpisahkan. Isi haruslah berjalan dengan suasana, begitupun suasana haruslah memuat isi yang membangun iman peserta katekese. Untuk membangun isi dan suasana katekese yang lebih menyapa orang dewasa ini, pertama, proses katekese harus mempertimbangkan segi himbauan pesan yang bersifat himbauan emosional melalui berbagai media yang tepat dan mampu menyentuh cita rasa. Kedua, proses katekese harus menjadi proses komunikatif, dimana berbagai metode pendekatan komunikasi digunakan. Katekese tidak hanya bersifat intruksional saja, tetapi juga mempergunakan prinsip symbolic way,3) dimana pengertian-pengertian didapat dari proses yang bersifat simbolis, baik dari gambar, film, cerita, dan lain sebagainnya. Salah satu media yang dapat digunakan agar katekese itu menarik adalah media komunikasi populer. Media komunikasi populer adalah media yang digunakan untuk menyampaikan pesan dalam proses komunikasi yang metodologinya bersifat “dekat” dengan kehidupan dewasa ini, misalnya film, foto digital, poster, hasil download internet, tampilan-tampilan presentasi dengan powerpoint dan flash player, musik, potongan artikel, potongan cergam-komik, dan lain-lain. Media komunikasi populer ini dapat menjadi salah satu bantuan, agar jembatan untuk menghubungkan pengalaman hidup orang zaman sekarang dengan visi kristianitas mampu terjadi. Media komunikasi populer ini menjadi sarana supaya terjadi proses sintesa antara media dan katekese yang sesuai dengan perkembangan budaya serta tehnologi yang mempengaruhi umat berkaitan dengan gaya hidup (life style) dan pandangan-pandangan hidup umat dewasa ini. Media komunikasi populer itu hendaknya ditempatkan dalam rancangan katekese yang menarik dan kreatif. Hal itu sangat beralasan, karena pengaruh media informasi yang sudah menjadi tiang penyangga kehidupan dan sekaligus menjadi ciri khas setiap orang bersosialisasi dengan sesamanya dewasa ini. Bahasa yang dulunya cenderung mengajar, kemudian berubah menjadi bahasa media yang bersifat membujuk, menggetarkan hati, dan penuh dengan resonansi, irama, cerita, dan gambar yang tervisualisasikan. Bahasa media tersebut lebih berpusat pada getaran hati. Selain itu, bahasa itu menjadi simbol untuk mengangkat dan memberi tekanan pada aneka kekayaan cita rasa. Segalanya seakan diciptakan kembali menjadi sesuatu yang kreatif 4). Media komunikasi populer dapat digunakan dalam proses katekese, baik sebagai apersepsi (pemusatan perhatian), narasi apresiatif dan refleksi, peneguhan, rangkuman atau pengiring doa. Untuk itu proses katekese hendaknya terbuka kepada pola-pola gagasan yang apresiatif. Apresiasi ini merupakan kegiatan yang memuat tiga unsur penting. Unsur yang pertama adalah pemahaman. Unsur yang kedua adalah memberikan pendapat dan tanggapan atau yang umum disebut sebagai intrepetasi dan unsur yang ketiga adalah ungkapan/ekspresi yang representatif dan kaya akan makna (reflektif). C. Membangun Isi dan Suasana Katekese yang menarik dan menyentuh melalui bahasa media komunikasi. Media komunikasi populer dan performance art dapat digunakan dalam proses katekese, misalnya dengan beberapa pendekatan metodologi sebagai berikut: 1. Metode apresiasi film Metode ini mempergunakan sarana film sebagai obyek-media yang dapat menjadi bahan analisa, diskusi dan refleksi. Namun juga dapat dipergunakan sebagai pengantar atau peneguh kesimpulan, maupun sebagai ilustrasi di dalam proses katekese. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: Pertama, setiap film, mempunyai nilai-nilai yang perlu diperhatikan 5), agar apresiasi menjadi lebih mempunyai nilai yang reflektif, nilai-nilainya yaitu: a. Pernyataan moral. Pernyataan moral biasanya muncul melalui dialog-dialog tokoh atau visualisasi kisah, baik secara langsung maupun yang bersifat hanya tersurat. Peryantaan moral ini biasanya terlihat dari alur plot film, misalnya dari orang yang jahat yang berubah menjadi orang baik (pertobatan), orang yang mengurbankan dirinya untuk menolong sahabat-sahabatnya (pengurbanan). b. Cermin atau potret kehidupan manusia. Dalam film termuat kisah kehidupan manusia, kisah yang dituturkan kembali sebagai cermin kehidupan. Untuk itu tutur kisah dalam film dapat dijadikan sebagai media batin betapa kehidupan memuat makna yang kaya. Biasanya, film-film yang memuat potret kehidupan manusia adalah film yang berjenis biografi seseorang, atau film yang diangkat dari kisah nyata. Kisah film yang disajikan dalam hal ini dapat menjadi sebuah pernyataan tentang kehidupan, pernyataan tentang kebenaran kehidupan manusia, bagaimana manusia mencari dan menjalani kehidupannya. Misalnya, bagaimana ketegaran hati seorang ibu, perjuangan di kamp pengungsian, dan lain sebagainya. c. Cermin atau potret sifat manusia. Penokohan dalam film biasanya tergambarkan di dalam penokohan antara yang baik dan yang jahat atau protagonis dan antagonis. Tetapi kadang kali film tidak begitu sekedar menyuguhkan tentang protagonis dan antagonis, melainkan sebuah potret kelam manusia, atau potret biografi kehidupan tertentu. Dari potret tentang sifat manusia melalui penokohan film itu dapat ditangkap tentang kebenaran-kebenaran umum bagaimana sifat manusia menghadapi zaman dan kehidupannya. Dari tutur kisah dalam film biasanya ditampakkan bagaimana sang tokoh menghadapi masalah dan kemudian menyelesaikannya, dari sanalah terlihat sifat-sifat manusia yang terwakili oleh sang tokoh, sebagai gambaran umum sifat manusia. d. Kritik sosial. Film mempunyai nuansa kritik sosial dan ideologis. Melalui kisah, tokoh, setting tempat dan alur dapatlah sebuah kritik sosial tercipta. Kritik sosial ini biasanya tergambar melalui tampilan-tampilan visual baik langsung (dalam film) maupun tidak langsung ataupun di dalam dialog-dialog tokoh. Kritik kadang dapat bersifat sangat lugas dan transparan, namun kadang begitu halus dengan mempergunakan banyak lambang intrepetasi yang beragam. Biasanya di dalam mengangkat masalah-masalah sosial, film lebih memberikan segi reflektif secara umum dan jarang sekali mengangkat akar permasalahan. Film lebih mengatakan dan menggambarkan bagaimana pentingnya upaya pembaharuan dan perubahan sosial, tetapi jarang mengangkat cara-cara perubahan sosial tersebut. e. Pertanyaan-pertanyaan filsafati. Tokoh dengan dialog dan alur kisahnya biasanya juga mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan filsafati kehidupan, yang akhirnya tidak dijawab oleh tokoh cerita melainkan dijawab oleh para penikmatnya sendiri. Dalam hal ini, film sungguh bersifat reflektif, mengantar penikmat untuk bertanya tentang kehidupannya. Pertanyaan-pertanyaan filsafati yang muncul kadang kali bukan muncul dari alur cerita atau dialog tokoh, semata saja, namun muncul dari dialektika antara kisah film dengan penikmatnya melalui apa yang disebut intrepetasi. Kedua, di dalam metode apresiasi film ini, ada beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk mengolah proses diskusi dan refleksi agar film sungguh-sungguh bisa menjadi media atau sarana katekese yang bermakna, yaitu: a. SOTARAE. (Situasi, Obyektif, Tema, Analisa-Ajaran, Rangkuman-Ajaran dan Evaluasi)6) Secara praktis, langkahnya adalah sebagai berikut: 1). Mengantar tema dan pokok apa yang akan dibicarakan, beserta proses serta film apa yang akan didalami. 2). Menayangkan film; film hendaknya berdurasi pendek (antara 15-20 menit) agar proses pendalaman dapat berjalan maksimal. Namun jika film berdurasi panjang dan diputar utuh, maka pendalaman dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya. 3). Menggali kesan spontan dari apa yang sudah dilihat. 4). Menggali secara obyektif tentang apa yang sudah dilihat. Dalam hal ini menggali secara lahir/eksplisit, misalnya plot filmnya, setting filmnya, tokohnya, dan lain sebagainya. Maka dalam rangka ini, pendamping sebelumnya sudah mempunyai referensi cukup yang melatar belakangi film yang sedang didiskusikan. 5). Menggali tema atau inti dari apa yang telah dilihat. Dalam hal ini mencoba menangkap dari apa yang implisit tersaji. 6). MengAnalisa dari apa yang dilihat. Alternatif analisa dapat sebagai berikut ; yaitu memberikan pertanyaan pancingan untuk didiskusikan. Pertanyaan untuk diskusi tidak terbatas pada pertanyaan praktis saja melainkan sampai kepada pertanyaan refleksi kritis. Kemudian analisa ini dikembangkan dan dihubungkan atau disentesakan dengan visi Kristiani. 7). Merangkum segala apa yang ditemukan dalam pertemuan dan baik juga dibuat dalam bentuk rekomendasi point-point penting yang dapat digunakan sebagai tindak lanjut secara kongkrit. Dalam rangkuman ini dapat juga ditambahkan beberapa hal yang menyangkut visi Kristiani. 8). Merencanakan sebuah aksi bersama yang bertujuan sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini dan dari hasil pendalaman suatu dokumen. b. ORID (Obyektif, Reflektif, Intepretatif dan Dicecion) 7) Secara praktis, langkahnya adalah sebagai berikut: 1). Mengantar tema dan pokok apa yang akan dibicarakan, beserta proses serta film apa yang akan didalami. 2). Menayangkan film; film hendaknya berdurasi pendek (antara 15-20 menit) agar proses pendalaman dapat berjalan maksimal. Namun jika film berdurasi panjang dan diputar utuh, maka pendalaman dapat dilakukan pada pertemuan berikutnya. 3). Menggali secara obyektif tentang apa yang sudah dilihat. Mengeksplorasi fakta, data, atas film, misalnya, peristiwa apa yang terjadi, apa yang dilakukan tokohnya dll. Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini, yaitu pertanyaan APA ; apa yang dialami, apa yang dilihat dll. 4). Menggali secara reflektif dari apa yang telah dilihat. Mengeksplorasi respon dari peserta atas fakta, data dari film. Pertanyaan yang diajukan pada tahap ini, MENGAPA, bagaimana perasaan/kesan mengenai film yang telah diamati. 5). Menggali secara intepretatif. Menggali pemikiran kritis peserta atas fakta atau topik yang dibahas. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta pada tahap ini, BAGAIMANA, terkait dengan pemikiran kritis atas topik yang dibahas. 6). Merangkum segala apa yang ditemukan dalam pertemuan dan baik juga dibuat dalam bentuk point-point penting yang dapat digunakan sebagai tindak lanjut secara kongkrit. Dalam rangkuman ini dapat juga ditambahkan beberapa hal yang menyangkut visi Kristiani. 7). Merencanakan sebuah aksi bersama. Mengajak – menawarkan kepada peserta untuk mengambil peran dalam pengambilan kesimpulan atas topik yang dibahas dan bagaimana merumuskan bentuk kegiatan yang terkait dengan tidak lanjut atas proses yang telah dilakukan. Pertanyaan yang diajukan kepada peserta pada tahap ini, apa yang dapat DILAKUKAN.. Dengan kelebihan dan kekurangannya, metode ORID lebih sederhana daripada SOTARAE. Kedua metode diatas dapat digunakan untuk saling melengkapi dan memperkaya temuan proses refleksi. Intinya, kedua metode diatas mempunyai tujuan yang sama, yaitu menggali lebih dalam dokumen film sebagai sarana katekese. Metode diatas dapat juga diproses untuk model apresiasi terhadap dokumen lain, misalnya cergam, poster, foto, artikel dan lain sebagainya. Baik juga, jika proses diskusi dapat divariasi dengan beberapa model-model sebagai berikut8): Diskusi kelompok dadakan (buzz group), yaitu sejenis diskusi kelompok kecil yang beranggotakan 3 – 4 orang dan langsung dibentuk untuk memperdalam materi. Diskusi kelompok sindikat (syndicate group), yaitu sejenis diskusi kelompok 3 – 7 orang di mana setiap kelompok mengerjakan suatu penggalian materi, kemudian hasil penggalian materi didiskusikan secara pleno. Sumbang pendapat (brainstorming), yaitu sering disebut sebagai inventarisasi gagasan. Kegiatan ini merupakan kegiatan curah gagasan secara spontan berhubungan dengan bidang minat atau kebutuhan kelompok untuk mencapai suatu kesimpulan. Diskusi terarah, yaitu suatu pola kegiatan diskusi dimana setiap peserta diberi waktu untuk mengemukakan pendapatnya. Diskusi meja bundar, yaitu diskusi saling mengemukakan pendapat secara berurutan melingkar. Dialog berganda, yaitu peserta diberi waktu untuk bertukar pikiran secara berpasangan. Setelah itu, mereka diminta untuk berkumpul lagi dalam kelompok umum. Diskusi parlementer, yaitu diskusi dimana terdapat dua kelompok besar yang sudah mempunyai pendapat yang saling bertentangan yaitu kelompok yang mendukung dan kelompok yang menentang, dalam hal ini pendapat-pendapat pribadi dikesampingkan. Diskusi ini memerlukan moderator untuk mengatur jalannya proses. Diskusi ini juga dibentuk kelompok ketiga untuk membuat rangkuman. Diskusi akuarium, yaitu diskusi yang terbagi atas dua kelompok, dimana masing-masing kelompok mempunyai peran sebagai kelompok diskusi dan kelompok pengamat, dan kemudian dua kelompok ini akan bertukar peran. 2. Metode bahasa foto Foto merupakan salah satu media yang dapat digunakan untuk penyadaran (konsientisasi). Melalui foto, ada kisah dan peristiwa yang terajut utuh bagi setiap pikiran dan setiap keprihatinan. Foto menghadirkan kembali kenangan akan peristiwa, yang tentu saja mempunyai nilai jika didiskusikan dan direfleksikan. Upaya yang bersifat teknis dan pemilihan obyek, dengan kuatnya telah dirajut oleh kesadaran seorang fotografer untuk membidik sebuah peristiwa agar hadir di ruang-ruang setiap orang yang melihatnya . Foto mempunyai bahasa yang luas dan kuat untuk menyentuh perasaan, misalnya bagaimana menghadirkan sebuah pemaknaa akan kesadaran ekologis melalui foto. Hal itu seperti apa yang telah terjadi di tahun 1970-an, seorang fotografer W. Eugene Smith mampu menunjukan kepada publik mengenai upaya perjuangan lingkungan hidup melalui foto kasus pencemaran lingkungan, yang dikenal dengan Minamata. Melalui karya itu, dipaparkan betapa ruang foto, mampu menjadi medan dialog reflektif bagaimana realisasi gamblang dari rusaknya hubungan antara manusia dan kemajuan yang diinginkannya9). Foto mampu berdampak provokatif mengurai batas-batas kesadaran kritis. Agar proses katekese dengan mempergunakan bahasa foto ini menjadi menarik dan mempunyai makna yang mendalam, ada salah satu metode yang dapat dipergunakan, yaitu dengan metode Mass Room Project (Proyek Ruang Publik).10) Mass Room Project lebih dikenal dikalangan komunitas seni media. Biasanya, Mass Room Project digunakan untuk mengamati ruang publik yang “ditangkap” melalui sarana media seperti photo-camera dan camera shooting, yang dipadu dengan sebuah kajian sosial, baik bersifat antropologis maupun sosiologis yang kemudian diberi sentuhan seni. Kajian yang dilakukan, biasanya berkisar pada ruang-ruang publik perkotaan, dari pasar, jalan raya, mall, halte bis, perkampungan urban, tempat nongkrong, rambu-rambu lalu lintas, terminal dan lain sebagainya, yang terpenting ada segi ruang publik yang dihadirkan. Metode yang dilakukan, biasanya sangat variatif dan kreatif, mengingat adanya unsur seni media didalamnya. Biasanya suatu obyek ruang publik diamati dan dibidik dengan peralatan media baik photo-camera dan camera shooting, dengan suatu ketentuan tertentu. Pertama, dapat bersifat bergerak, baik linear, maupun spiral, ataupun bersifat sentrifugal maupun sentripetal, Kedua, dapat bersifat stagnan (diam), dengan suatu durasi waktu yang digunakan, baik detik, menit, jam, hari maupun sampai bulan, bahkan tahunan, ataupun obyektifikasi yang bersifat masif. Untuk kepentingan katekese, Mass Room Project dapat diproses sebagai berikut 11): Sebelum melakukan hunting ke obyek yang dipilih, peserta perlu diajak diskusi untuk menentukan tema dan cara pengambilan fotonya. Tema dan cara pengambilan foto yang dipilih akan mempengaruhi jenis dan tempat obyeknya, dan bagaimana proses yang akan dilakukan, baik yang bergerak maupun yang stagnan ataupun yang bersifat obyektifikasi. Setelah tema ditentukan, begitu juga tempat dan dinamikanya, barulah hunting ke obyek yang dikehendaki. Berdasarkan obyek yang dipilih, obyek dapat “direkam” mempergunakan foto-digital sesuai dengan yang telah ditentukan menurut pola yang telah disiapkan. Setelah foto obyek didapatkan, foto tersebut dapat diolah hasilnya berdasarkan selera dan tema yang sudah ditetapkan. Hasil data tersebut dapat dikemas, baik dalam bentuk pameran foto, esai foto, perfomance art, ataupun pem-visualan yang lainnya. Hasil yang sudah dikemas itu bisa digunakan untuk media awal analisa. Foto yang telah dihasilkan itu, dapat direfleksikan dan didiskusikan dengan metode SOTARAE atau ORID. 3. Metode bahasa gambar Media gambar mempunyai daya pikat tersendiri ketika dijadikan sarana katekese. Sebab, melalui gambar, baik dalam bentuk poster, cergam, karikatur, ataupun lukisan, ada sentuhan yang dapat mengajak peserta semakin memperdalam maksud gambar yang disajikan, baik maksud untuk memperkuat isi-memberi peneguhan, merefleksikan, ataupun sampai memperbandingkan. Misalnya, gambar karikatur, kata karikatur berasal dari bahasa Latin dan Italia caricare yang berarti “memuat beban atau bobot (makna)”. Kata tersebut memberi makna lebih kepada kata caricatura, yang berarti gambar yang membawa parodi mengenai kehidupan, sehingga gambar itu dapat ditertawakan. Gambar karikatur jika diperdalam dapat bersifat mengguggah, lucu, menyindir dan cerdas (lateral thingking)12). Sifatnya yang menyindir dan cerdas itu dapat digunakan sebagai media katekese. Media gambar ini dalam proses katekese dapat dilakukan dengan: 1). Divisualisasikan, artinya gambar (poster, lukisan, karikatur, dll), digunakan untuk memvisualkan tema atau gagasan yang ingin didalami atau dipelajari, sarana atau media bantu penjelasan bagi fasilitator/pendamping atau media yang digunakan untuk diskusi, diamati, dan didalami-direfleksi bersama (apresiasiatif). 2). Dinarasikan, artinya gambar (poster, lukisan, karikatur dll) sebagai media untuk bercerita (storytelling). Gambar yang disajikan, membantu memberikan “suasana” dan pusat perhatian bagi peserta . 3)Mempergunakan bahasa gambar melalui papan tulis. Fasilitator / pendamping membuat gambar-gambar sederhana untuk memperkuat suasana cerita. Bahasa gambar dengan papan tulis ini memang membutuhkan ketrampilan tersendiri, karena fasilitator/pendamping harus mampu membuat bahasa gambar itu dengan disajikan kepada peserta dengan cepat namun menarik. 4). Media gambar ini dapat juga direfleksikan dan didiskusikan dengan metode SOTARAE atau ORID. D. Catatan Akhir Berbagai metode diatas merupakan pelengkap atau pendukung bagi proses katekese. Jangan sampai, metode-metode dengan media komunikasi populer tersebut menjadi dominan daripada gagasan serta materi pemahaman iman dalam proses katekese. Jangan sampai karena berbagai pengembangan kreatifitas melalui media komunikasi populer tersebut, peserta katekese kurang menemukan makna imannya. Seharusnya peserta semakin dikembangkan pemahaman imannya dengan dukungan atau bantuan media-media komunikasi tersebut. Untuk itu, fasilitator/pendamping harus senatiasa mengelola proses katekese tersebut dengan sungguh-sungguh. Artinya, fasilitator/pendamping mampu menempatkan segi alokasi waktu, porsi, dan kesesuaian antara metode-pendekatan dan media komunikasi populer yang digunakan bagi proses katekese. Jika media komunikasi populer ini dipergunakan untuk proses katekese, fasilitator/pendamping hendaknya mempersiapkannya dengan sebaiknya. Film, foto, gambar dan lain sebagainya membutuhkan alat pendukung seperti TV, VCD-DVD player, dan tempat yang memadai. Begitu juga, media komunikasi populer ini perlu dipilih dan diseleksi sehingga mampu mendukung isi pemahaman iman yang akan diproses, baik ditujukkan untuk peneguhan atau diperdalam atau sebagai pengantar-ilustrasi. *) Sumber pustaka, dapat dilihat dari sumber-sumber yang dituliskan pada catatan kaki makalah singkat ini 1)Bdk. EN 44 2)Bdk. CT 20 3)Bdk. Y.I. Iswarahadi, SJ,. 2006. Kekuatan Audio Visual dalam Pewartaan. Makalah Pertemuan Komkat Regio Jawa th. 2007, Wisma Micericordia Malang, 23-26 Januari 2007, hlm 4. 4)Bdk.________________ . 2003. Beriman dengan Bermedia, Yogyakarta: Kanisius, hlm 30-31. 5)Bdk. Joseph M. Boggs.1986.Cara Menilai Sebuah Film (terjemahan dari The Art of Watching Film oleh Asrul Sani). Jakarta: Yayasan Citra, 6)Lih. Manuel Olivera.1989. Group Media, Yogyakarta : Kanisius. dan lih. contoh ketika diproses dalam katekese, Komkat KWI. 1997. Model-model Katekese Umat dengan Metode Analisis Sosial. Yogyakarta: Kanisius, hlm 56-72. 7)Bdk. Ilham Cendekia. 2002. Tehnologi Partisipasi. Jakarta : Pattiro. 8)Lih. Manuel Olivera.1989. Group Media, Yogyakarta : Kanisius. 9)Lih. Alex Supartono. Minamata, tentang Sebuah Foto. Kompas, Minggu, 1 Agustus 2004, hlm 17. 10)Dikembangkan dari bahan workshop singkat mengenai seni video (video art) dan ruang publik di Kedai Kebun Forum, Tirtodipuran Yogyakarta 11)Penggunaan metode Mass Room Project ini lebih tepat dan efektif untuk kepentingan katekese Analisis sosial dan katekese kontekstual 12)Bdk. Mudji Sutrisno, SJ. Mentertawakan Kehidupan. Kompas, Minggu, 1 Agustus 2004, hlm 19. oleh: Purwono Nugroho Adhi (Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang)

No comments:

Post a Comment